TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Jelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia (HUT ke-80 RI), aksi pengibaran bendera bajak laut ala One Piece mencuri perhatian publik. Situasi ini pun menarik perhatian dari Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani.
Ipuk menegaskan bahwa pentingnya memahami batas antara kecintaan terhadap bendera dari serial dengan tokoh utama Monkey D Luffy itu dan penghormatan terhadap simbol negara.
“Kalau pengibaran bendera itu dimaknai sebagai simbol ideologi, tentu itu salah besar. Di Indonesia ini hanya ada satu bendera resmi, Merah Putih. Itu adalah lambang negara, jati diri bangsa, dan tidak bisa digantikan,” tegas Ipuk saat ditemui di sela-sela kegiatannya, Rabu (6/8/2025).
Meski demikian, Ipuk juga melihat bahwa tidak semua yang mengibarkan bendera berwarna hitam dengan gambar tengkorak bertopi jerami tersebut bertujuan menggantikan simbol negara.
Menurut orang nomor satu di Bumi Blambangan itu, sebagian masyarakat mungkin hanya memaknainya sebagai bentuk ekspresi atau kecintaan terhadap karakter animasi dan hanya ikut-ikutan karena sedang viral di media sosial alias Fear of Missing Out (Fomo).
“Kalau hanya dianggap sebagai lambang komunitas, seperti bendera klub sepak bola atau kelompok penggemar tertentu, itu bisa dimaklumi. Tapi garis batasnya harus jelas. Jangan sampai salah paham dan menganggapnya sebagai simbol negara,” ujarnya.
“Jangan sampai karena ikut tren atau Fomo lah istilahnya, kita lalai menjaga marwah simbol negara kita sendiri,” sambung Ipuk.
Fenomena tersebut banyak muncul di media sosial, di mana sejumlah warga, terutama kalangan muda, mengibarkan bendera bajak laut ala anime One Piece menjelang perayaan 17 Agustus.
Meski terlihat sebagai bentuk kreativitas, Ipuk mengingatkan bahwa euforia menyambut kemerdekaan seharusnya tetap menjunjung tinggi nilai nasionalisme.
Edukasi Masyarakat Lintas SKPD
Untuk mencegah kesalahpahaman lebih lanjut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi terus melakukan edukasi kepada masyarakat, khususnya generasi muda, mengenai pentingnya membedakan antara simbol komunitas dan simbol kenegaraan.
“Kami akan melibatkan Bakesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik) dan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait untuk turun langsung ke masyarakat. Mereka akan memberikan pemahaman soal mana yang bersifat ideologis dan mana yang sekadar komunitas,” terang Ipuk.
Langkah ini dinilai penting, terlebih di era digital yang membuat budaya luar sangat mudah masuk dan memengaruhi cara berpikir generasi muda. Ipuk berharap, semangat nasionalisme tetap ditanamkan kuat tanpa menghalangi ruang berekspresi. (*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |