https://banyuwangi.times.co.id/
Berita

Bendera One Piece, HMI Banyuwangi: Kritik Sosial Hingga Degradasi Nasionalisme

Rabu, 06 Agustus 2025 - 13:06
Bendera One Piece, HMI Banyuwangi: Kritik Sosial Hingga Degradasi Nasionalisme Ketua HMI Banyuwangi, Ilham Layli Mursidi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Fenomena pengibaran bendera One Piece, dijelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia ke-80 (HUT ke-80 RI), makin santer menjadi pembahasan. Bahkan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Banyuwangi, Jawa Timur, pun ikut memberi tanggapan.

Di sini, aktivis mahasiswa Hijau Hitam Bumi Blambangan ini menilai fenomena tersebut sebagai bentuk kritik sosial hingga degradasi rasa nasionalisme dikalangan rakyat Indonesia, khususnya kalangan generasi muda.

“Lantas apakah hal ini merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang sah? Atau sebuah sinyal kritis terhadap kondisi bangsa yang menghawatirkan?" ucap Ketua HMI Banyuwangi, Ilham Layli Mursidi, Rabu (6/8/2025).

Saat ini, lanjutnya, jagat maya hingga dunia nyata ramai memperbincangkan fenomena unik sekaligus kontroversial, yakni berkibarnya bendera bajak laut dari serial anime One Piece. Bendera hitam dengan simbol tengkorak dan tulang bersilang itu dikibarkan di berbagai sudut negeri.

Menurutnya, fenomena ini bukan sekadar pernak pernik kreativitas anak muda. Tetapi sudah menjalar dan nyaris menggantikan posisi strategis dimana sang saka merah putih seharusnya berkibar.

“Tak sedikit yang melihat sebagai bentuk kerisauan kolektif rakyat Indonesia, terutama generasi muda terhadap realitas sosial politik yang stagnan dan penuh ironi,” cetus Ilham.

“Di tengah maraknya isu korupsi, politik dinasti, disparitas ekonomi, hingga ketidak adilan hukum, simbol bajak laut One Piece yang dalam narasi fiksi adalah simbol perlawanan terhadap tirani dan ketidakadilan seolah menjadi representative aspirasi mereka yang merasa tidak pernah diperjuangkan,” imbuhnya.

Disebutkan, dalam anime One Piece, tokoh Monkey D Luffy dan para kru topi jerami, dikenal sebagai para ‘pembangkang’ yang gigih melawan kekuasaan otoriter dan membela kaum tertindas. Maka, ketika bendera bajak laut itu dikibarkan di ruang publik Indonesia. Bukan tidak mungkin masyarakat secara sadar maupun tidak sedang menyampaikan kritik tajam terhadap sistem yang mereka anggap sudah tidak lagi berpihak pada keadilan dan kebenaran.

“Pertanyaan krusial yang mengemuka saat ini, apakah fenomena bendera One Piece mencerminkan degradasi rasa nasionalisme di kalangan rakyat, khususnya anak muda?,” ujarnya.

Pandangan Ilham, fenomena bendera One Piece bisa jadi merupakan dampak dari kebebasan berekspresi yang tidak dibarengi dengan literasi kebangsaan yang memadai. Mengingat generasi digital yang tumbuh dengan budaya pop global kerap kali lebih dekat dengan karakter fiksi dibanding sejarah bangsanya sendiri.

“Tanpa dilandasi pendidikan karakter dan wawasan kebangsaan yang kuat, generasi muda akan mudah mengidolakan simbol fiktif dan secara tak sadar menempatkannya di atas nilai-nilai luhur bangsa,” paparnya.

Kemunculan fenomena bendera One Piece, masih Ilham, harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Khususnya untuk mengungkap apa yang melatari hal tersebut. Tentang mengapa bendera merah putih tidak lagi mampu menggugah semangat nasionalisme rakyat Indonesia?. Mengapa simbol bajak laut malah dianggap lebih ‘jujur’ dan ‘berani’ dalam menyuarakan keresahan rakyat?.

Ilham juga menyampaikan, pengibaran bendera One Piece bukan sekedar bentuk ekspresi ‘pop culture’. Melainkan bentuk simbolik dari alienasi sebuah kritik diam terhadap tatanan sosial yang gagal membangun kedekatan antara rakyat, generasi muda dan identitas negara.

Tiang bendera yang sakral bagi imajinasi negara, untuk sebagian anak muda justru menjadi ruang kosong dengan makna baru. Dalam Bahasa interaksionalis, makna simbol negara telah mengalami dislokasi sosial. Atau tidak lagi didefinisikan bersama, tetapi dimonopoli oleh wacana formal dan kekuasaan.

Menurutnya, kondisi ini menunjukkan adanya kegagalan institusi dalam menjaga ‘shared meaning’ terhadap simbol negara. Bendera merah putih dikibarkan setiap hari tapi tidak lagi dihayati dalam nilai keseharian. Berbeda dengan bendera One Piece, melalui narasinya justru menawarkan kompleksitas nilai. Baik nilai keadilan, solidaritas, dan perlawanan terhadap penguasa diktator.

“Ketika simbol kehilangan daya tarik dan makna, maka ruang kosong itu akan diisi oleh apapun, termasuk oleh fiksi,” ungkap Ilham.

Dan ketika kritik terhadap sistem pemerintahan mulai memukul simbol negara, hematnya, maka perlu adanya refleksi bersama. Karena bendera merah putih bukan hanya milik pemerintah, apalagi rezim. Tapi milik seluruh rakyat Indonesia.

Negara diharapkan merespon fenomena bendera One Piece sebagai alarm untuk mereformasi diri. Mengingat kritik sosial, betapapun nyelenehnya bentuk yang dipilih, selalu lahir dari ruang-ruang kepercayaan yang kosong.

“Bila rakyat merasa tidak punya saluran resmi untuk menyampaikan keluhan, dan melihat keadilan hanya berpihak pada segelintir orang, maka simbol-simbol perlawanan akan terus bermunculan dalam bentuk apapun,” cetus Ilham.

“Kemunculan fenomena bendera One Piece, juga harus dibaca sebagai momentum bagi pejabat pemerintah, institusi pendidikan, akademisi, NGO, media, tokoh dan seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat kembali narasi kebangsaan, mengokohkan rasa nasionalisme yang inklusif, yang tidak buta terhadap kritik, tetapi juga tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia,” tambah Ketua HMI Banyuwangi, Ilham Layli Mursidi. (*)

Pewarta : Syamsul Arifin
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.