TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) tersemat sebuah pesan harapan kuat yang digaungkan dari kabupaten ujung timur Pulau Jawa, yaitu oleh seorang atlet catur tunanetra berprestasi tingkat nasional asal Banyuwangi, Renita Septianingrum.
Papan kotak hitam dan putih, dengan bidak dari kayu itu mungkin terlihat biasa saja. Namun, bagi Renita instrumen itu adalah medan pertempuran. Panggung tempat dirinya menyusun strategi, menepis segala keterbatasan, dan menunjukkan kepada dunia bahwa eksistensinya juga bisa mengukir prestasi.
Kisah wanita asal Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore itu adalah sebuah narasi tentang tekad yang menolak putus asa. Dirinya lahir dengan keterbatasan penglihatan, namun semangatnya jauh lebih terang dari cahaya. Saat orang lain mungkin menganggap keterbatasan fisik sebagai dinding, wanita 29 tahun itu justru menjadikannya sebagai menempa diri.
Bukan atlet yang lahir dari kemudahan dan kemewahan, Renita harus berjuang keras menyesuaikan diri dengan catur khusus tunanetra yang menuntut fokus dan kepekaan luar biasa. Meskipun demikian, dirinya telah membuktikan diri dengan mengukir prestasi gemilang di berbagai kejuaraan catur tingkat nasional.
Renita berhasil menyabet medali emas dan perak pada Pekan Paralimpik Provinsi (Peparprov) Jambi 2023. Sebelumnya dirinya juga mengukir prestasi pada Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) 2021 di Papua dan mendapat medali perak mewakili Papua.
Pada HDI yang diperingati setiap 3 Desember ini, anak bungsu dari empat bersaudara itu tidak ingin menonjolkan capaian medalinya dan kisah panjangnya itu. Sebaliknya, Renita ingin menyuarakan harapan dan cita-cita yang mewakili banyak penyandang disabilitas di Indonesia.
“Semua orang punya kesempatan untuk maju, termasuk kami para difabel. Yang kami butuhkan adalah ruang untuk berkembang, pelatihan yang memadai, dan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan,” katanya Rabu (3/12/2025).
Reni panggilan akrabnya itu menilai, akses pendidikan, fasilitas olahraga ramah difabel, dan pendampingan pelatih khusus masih sangat terbatas. Padahal, menurutnya banyak talenta hebat yang terhambat hanya karena minimnya dukungan dan fasilitas.
“Banyak teman-teman disabilitas sebenarnya mampu, hanya belum diberi kesempatan," ucapnya.
Selain itu, Reni berharap, penyandang disabilitas juga diberi banyak peluang kerja yang adil. Reni sendiri juga bercita-cita menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur prestasi dan kompetensinya.
“Saya ingin mandiri. Tidak ingin merepotkan keluarga. Pemerintah perlu membuka lebih banyak kesempatan kerja untuk kami,” ungkapnya.
Dalam pandangannya, Hari Disabilitas Internasional ini harus menjadi momentum untuk memperkuat komitmen inklusi, dan bukan sekadar seremonial tahunan. Dengan begitu masyarakat semakin memahami bahwa disabilitas bukan berarti tidak mampu, mereka hanya membutuhkan akses yang setara.
“Kami bukan ingin diistimewakan, tapi diberi kesempatan yang sama. Banyak difabel punya kemampuan, hanya saja aksesnya terbatas,” ucap Reni.
“Semoga semakin banyak ruang bagi kami untuk berkembang. Semua orang punya hak yang sama untuk berjuang dan berhasil,” imbuhnya. (*)
| Pewarta | : Syamsul Arifin |
| Editor | : Imadudin Muhammad |