TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Kampus yang bersih dan hijau tidak pernah lahir secara kebetulan. Ia adalah buah dari kebiasaan sederhana yang dilakukan oleh banyak tangan dalam waktu panjang. Namun di balik fasilitas megah dan gedung modern, masih tampak fakta pahit: sebagian mahasiswa belum memandang kebersihan kampus sebagai bagian dari proses belajar mereka.
Seolah urusan lingkungan hanya soal “siapa yang bertugas membersihkan”, bukan soal kenyamanan belajar, kesehatan, dan kualitas akademik. Padahal edukasi lingkungan mestinya menjadi program wajib di kampus agar kesadaran itu tumbuh dari pengetahuan, bukan sekadar imbauan yang lewat begitu saja.
Sikap acuh terhadap lingkungan kampus pada akhirnya bersifat bumerang. Ketidaknyamanan yang diciptakan mahasiswa sendiri akan kembali kepada mereka juga. Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya berkonsentrasi di kelas yang kotor, panas, atau semrawut; bagaimana semangat kuliah merosot ketika lingkungan belajar terasa gersang dan tidak terawat. Karena itu, menjaga kebersihan bukan sekadar tugas tambahan yang bisa dilakukan bila sempat melainkan kebutuhan dasar untuk menciptakan atmosfer akademik yang kondusif.
Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmen serius terhadap keberlanjutan lingkungan melalui UI GreenMetric, pemeringkatan internasional untuk perguruan tinggi berbasis sustainability. Melalui indikator seperti pengelolaan sampah, efisiensi energi, ruang terbuka hijau, hingga transportasi ramah lingkungan, UI GreenMetric membuktikan bahwa gerakan menjaga kebersihan dan keberlanjutan kampus bukan lagi imbauan moral, tetapi agenda nasional. Inisiatif ini menyampaikan pesan yang jelas: kampus modern bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ekosistem hidup yang harus dijaga.
Faktanya, peningkatan kualitas lingkungan kampus memiliki efek nyata terhadap motivasi dan prestasi belajar mahasiswa. Ruang hijau dan tertata memberi kenyamanan fisik, menurunkan tingkat stres, dan meningkatkan fokus.
Lingkungan yang bersih mendorong kesiapan mental untuk menerima materi perkuliahan. Artinya, program lingkungan berkelanjutan bukan sekadar kegiatan sosial atau formalitas administratif, tetapi berkontribusi langsung terhadap produktivitas akademik.
Yang menarik, budaya kampus hijau sebenarnya tidak harus dimulai dengan hal besar. Kebiasaan kecil yang dilakukan secara kolektif justru memiliki daya perubahan terbesar. Penyuluhan rutin mengenai pentingnya merawat ruang kelas, kampanye pemilahan sampah, atau poster sederhana di titik strategis dapat membentuk kesadaran.
Begitu pula kebiasaan membawa botol minum sendiri, membuang sampah pada tempatnya, menanam satu tanaman, atau menjaga ruang kelas tetap rapi sebelum dan setelah digunakan. Ketika banyak orang mengulangi tindakan kecil yang sama, kampus akan berubah secara nyata tanpa harus menunggu “program besar”.
Fenomena ini mulai terlihat di banyak perguruan tinggi. Kampus yang sebelumnya kurang memberi perhatian kini mulai mengurangi plastik sekali pakai, menata ulang ruang hijau, memperkuat pengelolaan sampah terpadu, hingga membangun komunitas lingkungan.
Di satu sisi, kebijakan kampus semakin progresif; di sisi lain, mahasiswa memperlihatkan perubahan perilaku: lebih disiplin membuang sampah, aktif dalam penanaman pohon, dan terlibat dalam gerakan lingkungan. Ketika kebijakan bertemu kesadaran kolektif, terbentuklah budaya kampus hijau dan kualitas ruang belajar meningkat dengan sendirinya.
Karena itu, sudah waktunya seluruh civitas akademika menyadari bahwa menjaga lingkungan bukanlah kewajiban administratif, melainkan bagian dari karakter intelektual. Mahasiswa sering digambarkan sebagai agen perubahan, motor peradaban, dan calon pemimpin bangsa. Maka sikap sederhana seperti peduli kebersihan kampus seharusnya menjadi refleksi dari nilai-nilai luhur itu: rasa memiliki, tanggung jawab, disiplin, dan kepedulian terhadap sesama.
Kampus teladan bukan hanya kampus yang menghasilkan lulusan cerdas, tetapi juga kampus yang berhasil menanamkan kepedulian terhadap ruang hidup bersama. Lingkungan akademik yang bersih, hijau, dan nyaman akan membentuk kebiasaan positif yang terbawa hingga mahasiswa terjun ke masyarakat kelak. Karena itu, setiap warga kampus tanpa kecuali perlu berani mengambil bagian, mempraktikkan kepedulian sehari-hari, dan saling mengingatkan demi keberlanjutan lingkungan.
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Membuang sampah pada tempatnya mungkin terdengar sepele, tetapi itu adalah fondasi budaya. Ketika setiap mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan bergandengan tangan, kampus bukan hanya menjadi tempat menimba ilmu melainkan rumah akademik yang sehat, nyaman, dan layak dibanggakan oleh semua penghuninya.
***
*) Oleh : Arum Dewi Masitoh, Mahasiswi Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, Universitas KH. Mukhtar Syafa'at Blokagung Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |