https://banyuwangi.times.co.id/
Kopi TIMES

Sekilas Soal Tren Kapitalisme Digital

Selasa, 16 Mei 2023 - 15:02
Sekilas Soal Tren Kapitalisme Digital Awal Ikhwani, Mahasiswa Sosiologi Universitas Andalas.

TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – “Sejarah umat manusia sampai saat sekarang masih terus mengalami krisis multidimensi dari harkat martabat manusia, krisis moral, etika dan peradaban, bahkan penghancuran lingkungan hidupnya sendiri secara masif dan sistematis” Wirutomo, 2021. Krisis multidimensi yang terjadi tentu juga menjerat kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebagai contohnya praktik kapitalisme yang dianggap sebagai sistem yang rusak dan merusak ternyata masih eksis dalam masyarakat digital (digital society) sebagai konsep baru realitas masyarakat masa kini.

Sejarah Singkat Kapitalisme 

Sejarah kapitalisme yang terbentuk seiring perkembangan peradaban industrial. Pada mulanya menggantikan sistem feodalistik kala itu. Diawali penemuan mesin cetak di Eropa pada abad ke-15 yang semula hanya berfungsi gospel, beranjak menjadi pendobrak rintangan utama yang menghalangi proses produksi selama berabad-abad, sekaligus menjadi pembuka bagi terciptanya division of labor secara massal. Inilah basis utama dari terbentuknya sistem ekonomi kapitalisme (Kusumandaru, 2003).

Satu abad setelahnya diterbitkan paten pertama mesin uap di Inggris oleh Thomas Savery, yang kemudian perkembangan mesin uap lebih mutakhir dilanjutkan oleh James Watt. Dengan kekuatan penemuan teknologi yang berkembang, alih-alih melawan pertumbuhan sistem yang baru, kekuasaan monarki saat itu justru malah menyesuaikan diri dengan membeli alat-alat produksi (yang kemudian disebut modal) dan membangun kapitalisme mereka sendiri. Sejarah ini menjadi headstart yang baik dalam perlombaan membangun industri ala kapitalisme. 

Seiring perkembangan mesin uap Watt di Eropa Barat dan berbagai macam teknologi baru, yang kemudian secara alamiah mempengaruhi sistem sosial Eropa dengan terbaginya masyarakat menjadi 4 golongan, yaitu: Borjuis sebagai para pemilik modal, petty bourgeoisie (borjuasi kecil), proletar yang berperan sebagai buruh, dan lumpenproletariat atau masyarakat yang tidak memiliki modal juga tidak laku dipekerjakan. Dikemudian hari atas usaha-usaha ‘proletarization’ (pemiskinan para borjuis kecil), pada akhirnya masyarakat digolongkan menjadi 2 golongan saja, yaitu borjuis dan proletar. 

Adanya different of interest yang diperjuangkan ke-dua golongan masyarakat tersebut mendorong Prancis memasuki babak revolusi yang populer dikenal sebagai ‘Revolusi Prancis’, dipimpin oleh Karl Marx dan kawannya Friedrich Engels melahirkan antitesis: perjuangan antarkelas. Sejarah singkat yang menghantarkan manusia menemui ‘Revolusi Industri’ dan mempengaruhi perubahan etika kapitalisme dari yang semula berwatak eksploitasi tenaga kerja manusia menjadi lebih moralis dan bertahan hingga berjilid-jilid sampai saat ini.

Tren Kapitalisme Digital Saat Ini

Kapitalisme telah masuk ke dalam kehidupan digital society, walaupun bermunculan dengan wujud yang lebih beragam daripada ketika awal-awal kemunculannya yang bergantung pada tenaga pekerja dan manufaktur sebagai modal. Keberagaman ini tercipta akibat dari kapitalis beradaptasi dengan telekomunikasi dan komputer sebagai basis dari produksi. Hal ini mengharuskan orang yang berusaha menyelidikinya, tidak hanya sekedar mencermati sistem ekonomi semata, tetapi penyelidikannya harus mengandung makna emansipatoris.

Berangkat dari itulah, penulis mencermati contoh kecil kapitalisme yang terkandung dalam realitas fenomena ‘endorsement’. Tren media pemasaran baru dengan memanfaatkan jumlah ‘follower’ (pengikut) akun media sosial pribadi/kelompok yang secara terbuka bersedia menjadi objek endorsement. 

Realitas fenomena endorsement, adalah mengkapitalisasi jumlah follower dengan menjadikannya sebagai modal sekaligus menentukan nilai-nya sesuai angka yang tertera. Karena modal yang cukup mudah didapatkan dan ditingkatkan, semua orang yang memiliki media sosial, berbondong menjadi objek endorsement. Dalam hal ini teknologi menawarkan peluang kerja baru bagi penggunanya. 

Namun, masalahnya muncul pada objek endorsement yang mengambil ahli dan memanfaatkan privilege-nya (keistimewaan) sebagai ‘tokoh publik’ contohnya artis yang menciptakan media pemasaran yang strategis di akun media sosial miliknya. Walaupun sebetulnya, semua orang yang memiliki media sosial pada dasarnya memiliki peluang untuk membuka endorsement melalui konten-konten pemasaran yang dibuat sedemikian rupa menarik dengan tujuan mempengaruhi para follower-nya. 

Akan tetapi dua golongan yang digambarkan penulis ini memiliki garis start yang timpang. Artis sebagai seorang yang lebih dulu diidolakan, dikagumi dan dikenal khalayak umum tentu dengan mudah dan cepat menimbun jumlah follower dan mendapatkan banyak tawaran produk untuk diiklankan dan menjadi objek endorsement dengan bayaran yang jauh lebih tinggi. 

Sedangkan para konten kreator yang merintis dan bersaing di pasar kelas menengah mengalami seleksi dalam persaingan, atau yang disebut survivorship bias, mayoritas masyarakat berjuang di bawah bayang-bayang kesuksesan yang tampaknya mudah diraih tanpa menyadari besarnya persentase kegagalan yang lebih banyak mendominasi.

Jika seperti ini, teknologi tidak di-ada-kan untuk menumbuhkan lapangan baru dalam rangka pemerataan kesejahteraan. Tetapi hanya ada untuk memberikan alternatif bagi golongan mapan untuk meningkatkan kemakmurannya.

Marx sendiri pada awal-awal buku Manifesto Komunis-nya tampak mengagumi jasa-jasa kapitalisme. Menurutnya di bawah kapitalisme, kekuasaan setiap pribadi atas hak milik bisa bebas berkembang. Melalui sistem upah (menggunakan alat tukar; uang) artinya tidak ada lagi pekerjaan-perkerjaan paksa, seperti halnya kerja rodi pada zaman sebelumnya.

Di bawah kapitalisme, produksi barang dagangan mencapai kemajuan besar dan bersifat universal, karena produksi diadakan demi pasaran dengan tujuan mencapai keuntungan. Untuk itulah kaum kapitalis terdorong menciptakan produksi sebanyak-banyaknya (kini: menciptakan platform sebanyak-banyaknya) (Sindhunata, 1982). 

Tapi apakah akibat dari dinamika luar biasa sistem kapitalisme itu? Jawabannya tentu: kelas-kelas yang terciptakan sistem kapitalis tidak dapat bertahan untuk selamanya. Sementara itu karena persaingan antara kaum borjuis dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya, masing-masing mereka berjuang mati-matian untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya, bahkan hingga mengorbankan harkat martabat orang lain. Seperti yang saat ini marak dijadikan ide konten oleh banyak konten kreator saat ini.

Fenomena endorsement setidaknya menyajikan gambaran sederhana mengenai praktik kapitalisme digital. Lebih dari pada itu penulis sekaligus juga mengingatkan bahwa kapitalisme sebagai bagian dari krisis multidimensi masih menetap dengan beradaptasi dalam pertumbuhan pembangunan, dan pemerataan kesejahteraan hanya akan hadir sebagai ilusi yang dicita-citakan. Realitas digital nyatanya sangat membutuhkan sisi skeptis ilmu pengetahuan dan sinisme dari para ahli yang mendalaminya.(*)

***

*) Oleh: Awal Ikhwani, Mahasiswa Sosiologi Universitas Andalas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.