TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – Qurban adalah ritual ibadah ummat Islam yang memiliki makna sosial dan kultural tinggi. Karena dampak sosial dari ibadah qurban dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat, tidak hanya ummat Islam, tetapi juga ummat non-muslim. Tidak hanya yang miskin, yang kaya juga bisa merasakan dampak ibadah qurban, karena daging qurban tidak hanya diperuntukkan bagi faqir miskin, tetapi boleh dibagi pada yang kaya dan berkecukupan.
Berdasarkan data Lembaga Institute for Deographic and Proverty Studies (IDEAS), ada sekitar 2,16 juta orang yang berkurban/pekurban (shahibul qurban ) pada tahun 2024. Dari jumlah ini IDEAS memproyeksikan nilai potensi ekonomi qurban sebesar Rp 28,2 triliun. Angka ini mengalami kenaikan jika dibanting tahun 2023 yang mencapai sekitar Rp 24,5 triliun dari 2,08 juta orang pekurban. Terjadi kenaikan sekitar 80 ribu pekurban pada tahun 2024.
Data ini menunjukkan dua hal, pertama terjadi kenaikan jumah orang yang melakukan kurban dari tahun ke tahun. Kedua, nilai potensi ekonomi ibadah qurban juga mengalami kenaikan. Ini artinya qurban tidak hanya terkait dengan dimensi teologis spiritual, relasi individual antara manusia dengan Tuhannya, qurban juga terkait dengan dimensi sosial dan kultural (sosio-kultural), relasi manusia dengan sesama manusia dan alam.
Apakah kenaikan jumlah pekurban yang dibarengi dengan kenaikan potensi ekonomi ini mengindikasikan keberhasilan pelaksanaan qurban? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu merumuskan makna sosio-kultural dari ritual qurban yang dapat dijadikan indikator untuk melihat sejauh mana keberhasilan pelaksanaan qurban.
Secara tekstual disebutkan bahwa berqurban dilakukan sebagai ekspresi ketaqwaan untuk mencapai ridha Allah (QS, Al-Maidah 27; Al-Hajj, 37). Dalam konteks ini, qurban ditafsirkan sebagai ujian kepada hamba yang beriman agar senantiasa bertaqwa dan mengingat Allah. Ini adalah tafsir dari perspektif teologis-spiritual. Namun dari dimensi sosio-kultural ada berbagai makna yang dapat digali dari ritual qurban Idul Adha.
Dalam persepektif sosio-kultural, ritual qurban dapat dilihat sebagai peristiwa simbolik yang memiliki berbagai makna. Pertama qurban dimaknai sebagai ujian untuk mencapai derajat ketaqwaan seseorang. Ayat tersebut menunjukkan bahwa ujian adalah sesuatu yang berat untuk dilakukan, sehingga sampai merobek hati dan perasaan jika dilakukan. Perlu kesabaran dan keikhlasan untuk melakukan, sebagaimana dicerminkan oleh sosok Nabi Ibrahim yang harus menyembelih anaknya, sesuatu yang paling dicintai dan disayangi.
Dari kisah Nabi Ibrahim dapat diambil suatu inspirasi bahwa berqurban dalam konteks kekinian adalah kerelaan diri melepaskan hal-hal yang paling dicintai untuk kemaslahatan ummat. Jika seseorang mencintai harta, maka dia rela melepaskan hartanya (berbagi pada sesama yang membutuhkan) tanpa khawatir menjadi miskin, jika dia pejabat maka dia rela menggunakan jabatannya untuk kemaslahatan ummat tanpa khawatir dicopot jabatannya. Inilah makna qurban sebagai ujian. Jadi kalau cuma melampiaskan kesenangan dan sekedar menaikkan citra diri, maka belum bisa dikatakan berkurban, meskipun secara faktual terlihat dermawan dan mengeluarkan banyak harta.
Kedua makna sosio-kultural qurban aadalah membunuh nafsu hewani yang disimbolkan dengan pembunuhan hewan qurban. Dalam konteks ini, qurban dimaknai sebagai upaya untuk membunuh nafsu serakah, tamak, sombong, suka membenci, memfitnah, menghujat dan tidak memiliki rasa kemanusiaan sehingga diidentikkan dengan nafsu hewani. Ritual qurban menunjukkan bahwa membunuh nafsu hewani yang ada dalam diri harus dilakukan oleh diri sendiri yaitu individu atau person yang dalam dirinya bersemayam nafsu hewani, bukan orang lain yang berada di luar diri. Orang lain dan perangkat sosial (hukum, norma, etika) yang berada di luar diri hanya alat bantu untuk membunuh nafsu hewani yang ada dalam diri.
Secanggih apapun hukum, sehebat apapun norma dan etika kalau nafsu hewani masih bersemayam dalam diri, maka seluruh perangkat tersebut akan dilanggar dan disiasati demi melampiaskan nafsu hewani yang serakah, tamak anti kemanusiaan. Sebaliknya, meski dengan perangkat hukum sederhana, tanpa pengawasan yang ketat, namun jika nafsu hewani dapat dikendalikan oleh tiap-tiap individu, maka kehidupan sosial akan berjalan dengan baik. Harkat dan martabat kemanusian akan terjaga dan terlindungi secara kuat. Inilah pentingnya setiap individu membunuh nafsu hewani yang ada daam dirinya, sebagaimana disimbolisasi dalam ritual qurban.
Makna sosio-kultural ketiga dari ritual qurban adalah empati dan peduli. Hal ini disimbolisasi dengan pembagian hewan qurban kepada masyarakat. Jika manusia sudah mampu berqurban secara benar yaitu membunuh nafsu hewani yang ada dalam dirinya, maka akan tumbuh rasa empati dan peduli pada sesama. Hewan yang disembelih akan menghasilkan daging yang dapat dibagikan kepada orang lain sehingga mereka dapat merasakan nikmatnya makan daging dengan penuh suka cita. Artinya jika seseorang yang berqurban dapan membunuh nafsu kebinatangan yang ada dalam dirinya maka akan tumbuh rasa empati dan peduli yang bisa dibagikan dan dirasakan oleh orang lain dengan suka cita, sebagaimana mereka menikmati daging qurban.
Makna sosio-kultural qurban ini dapat dijadikan sebagai indikator untuk melihat keberhasilan ritual qurban. Jika tidak ada perubahan apapun pada diri orang-orang yang berqurban, mereka tetap serakah, tamak, suka menebar fitnah dan caci maki, semakin gila pada jabatan dan harta dengan cara biadab dan mengorbankan sesama manusia, maka qurban hanya menjadi ritual seremonial tanpa makna. Artinya qurban tersebut kualitasnya rendah, karena qurban hanya dijadikan sekadar alat katarsis, sarana meningkatkan citra diri di hadapan publik dengan menjadikan orang miskin sebagai obyek pencarian pahala.
Sebaliknya, Jika orang-orang yang berqurban dapat membunuh nafsu hewani yang ada dalam dirinya, memiliki empati dan kepedulian yang tinggi pada sesama dan dapat melepaskan berbagai kenikmatan duniawi yang paling dicintai demi kemaslahatan ummat, maka sesungguhnya orang tersebut telah berqurban dengan benar sehingga mencapai derajat ketaqwaan. Dan inilah qurban yang berhasil dan berkualitas.
Naiknya jumlah qurban dan potensi ekonomi menunjukkan meningkatnya semangat keberagamaan ummat Islam Indonesia. Namun untuk melihat keberhasilan ritual qurban secara sosio-kultural, maka peru dilihat sejauh mana makna sosio-kultural, sebagai indikator, terlihat dalam kehidupan masyarakat. Semakin kuat makna tersebut terlihat dalam realitas sosial, maka ritual qurban semakin berhasil dan bermakna. Demikian sebaliknya jika makna sosio-kultural kurang terwujud dalam kehidupan nyata, maka ritual qurban yang semarak itu kurang berhasil. Artinya qurban hanya menjadi ritual agama yang secata sosio-kultural tidak bermakna. (*)
***
*) Oleh : Ngatawi Al-Zastrouw, Dosen Pasca Sarjana UNUSIA dan Kepala Makara Art Center UI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Makna Sosio Kultural Ritual Qurban
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |