https://banyuwangi.times.co.id/
Kopi TIMES

Gus Dur, Sosok Pemimpin yang Melampaui Zaman

Rabu, 01 Januari 2025 - 14:32
Gus Dur, Sosok Pemimpin yang Melampaui Zaman Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Uniersitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, adalah sosok yang tak tergantikan dalam lanskap sosial, politik, dan keagamaan Indonesia. Lima belas tahun sejak wafatnya, Gus Dur tetap dikenang sebagai pemimpin yang melampaui zamannya, dengan pemikiran dan tindakan yang menginspirasi banyak generasi. 

Sebagai seorang ulama, politisi, budayawan, dan humanis, Gus Dur telah meninggalkan jejak mendalam yang terus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia (Barton, 2002).

Pada awal tahun baru 2025 ini, refleksi terhadap pemikirannya menjadi sangat relevan untuk menavigasi tantangan kebangsaan dan keberagaman di Indonesia.

Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga yang memiliki akar kuat dalam tradisi Islam Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah tokoh nasional yang turut berperan dalam perumusan dasar negara (Azra, 2006). 

Gus Dur dikenal sebagai pribadi yang unik, baik dalam gaya kepemimpinan maupun cara berkomunikasinya. Selama masa hidupnya, Gus Dur tak hanya aktif dalam dunia keagamaan, tetapi juga dalam ranah sosial-politik, dengan mengedepankan prinsip pluralisme dan kemanusiaan.

Dalam literatur, Gus Dur dikenal sebagai pemikir yang produktif. Buku-bukunya, seperti "Islamku, Islam Anda, Islam Kita" (Wahid, 1999) dan "Tuhan Tidak Perlu Dibela" (Wahid, 2006), mengupas isu-isu keislaman, demokrasi, dan kemanusiaan.

Tulisan-tulisan Gus Dur menunjukkan keberanian untuk mengkritik status quo, sekaligus menawarkan solusi yang inklusif bagi berbagai persoalan bangsa. Pemikiran Gus Dur tak jarang dianggap kontroversial, namun selalu berangkat dari semangat membela mereka yang tertindas.

Para pakar sering kali menggarisbawahi kejeniusan Gus Dur dalam membaca konteks sosial-politik Indonesia. Azyumardi Azra, seorang cendekiawan Muslim, menyebut Gus Dur sebagai "pemikir Islam yang melampaui batas-batas formal keagamaan" (Azra, 2006). 

Sementara itu, Greg Barton, seorang akademisi Australia, melihat Gus Dur sebagai representasi Islam moderat yang relevan dengan tantangan global (Barton, 2002). Pemikiran dan tindakan Gus Dur dianggap sebagai wujud nyata Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Beberapa teori sosial dan politik sering digunakan untuk memahami kiprah Gus Dur. Salah satunya adalah teori multicultural citizenship dari Will Kymlicka, yang menekankan pentingnya pengakuan terhadap identitas kelompok minoritas dalam negara (Kymlicka, 1995). 

Gus Dur mempraktikkan prinsip ini dengan membela hak-hak kelompok minoritas, termasuk Tionghoa, Kristen, dan komunitas kepercayaan lokal. Dalam perspektif ini, Gus Dur menjadi pelopor dalam menjadikan Indonesia sebagai negara yang menghormati keragaman tanpa kehilangan identitas nasional.

Kontribusi Gus Dur bagi Keislaman dan Keindonesiaan

Dalam konteks keislaman, Gus Dur memperjuangkan Islam yang inklusif dan humanis. Ia menolak interpretasi agama yang eksklusif dan radikal, serta menekankan pentingnya dialog antarumat beragama (Wahid, 2006). Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur mengarahkan NU untuk lebih berperan dalam isu-isu sosial-politik tanpa meninggalkan akar keislamannya.

Di ranah keindonesiaan, Gus Dur adalah pembela hak asasi manusia dan pluralisme. Ketika menjabat sebagai Presiden ke-4 Indonesia, ia mencabut kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dan mengizinkan mereka merayakan Imlek secara terbuka. Keputusan ini mencerminkan komitmen Gus Dur untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang inklusif bagi semua warganya (Barton, 2002).

Gus Dur menawarkan solusi yang relevan bagi tantangan keragaman di Indonesia. Ia menekankan pentingnya prinsip tasamuh (toleransi) dalam kehidupan berbangsa. Dalam pandangan Gus Dur, keragaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus dirawat. Ia juga mendorong dialog lintas agama dan budaya sebagai cara untuk mengatasi konflik (Zuhri, 2014).

Salah satu tindakan konkret Gus Dur adalah ketika ia memediasi konflik antaragama di berbagai daerah. Dengan pendekatan yang penuh empati, Gus Dur berhasil meredakan ketegangan dan membuka ruang dialog. Ia juga sering menggunakan humor sebagai alat komunikasi, yang membuatnya lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan.

Gus Dur juga menerapkan pendekatan keilmuan Islam untuk memecahkan problematika kemanusiaan. Salah satu contohnya adalah penggunaan prinsip maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah) dalam menyelesaikan isu-isu sosial. Gus Dur memahami bahwa inti syariah adalah melindungi lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Wahid, 1999). 

Dalam konteks ini, ia kerap mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia dibandingkan penegakan hukum agama secara tekstual. Misalnya, ia mendukung kebebasan beragama dan menentang diskriminasi, dengan alasan bahwa semua manusia memiliki hak untuk hidup bermartabat tanpa tekanan keyakinan tertentu. Pendekatan ini mencerminkan fleksibilitas Islam dalam merespons dinamika zaman.

Gus Dur memandang demokrasi sebagai sistem politik yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam hal keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Menurut Gus Dur, maqashid syariah dapat digunakan sebagai kerangka kerja untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan.

Ia sering menekankan bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal substansi, yaitu memastikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (Barton, 2002).

Dalam konteks nasionalisme, Gus Dur percaya bahwa kecintaan terhadap bangsa tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ia mengutip konsep hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman) sebagai landasan bagi umat Islam untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa. 

Melalui maqashid syariah, Gus Dur menjelaskan bahwa menjaga persatuan bangsa adalah bagian dari menjaga kehidupan (hifz al-nafs) dan stabilitas sosial (hifz al-maslaha) (Wahid, 1999).

Pancasila, bagi Gus Dur, adalah konsensus yang telah berhasil mempersatukan keragaman Indonesia. Ia melihat Pancasila sebagai jalan tengah antara berbagai ideologi yang ada di Indonesia. 

Gus Dur menegaskan bahwa prinsip-prinsip dalam Pancasila, seperti keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, sangat sesuai dengan nilai-nilai maqashid syariah. Oleh karena itu, ia menolak gagasan negara Islam yang bersifat eksklusif, karena hal itu tidak sesuai dengan semangat inklusivitas yang diajarkan dalam Islam (Azra, 2006).

Gus Dur juga menentang formalisasi syariah dalam bentuk negara Islam. Baginya, yang lebih penting adalah substansi dari ajaran Islam yang menekankan pada keadilan, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Melalui maqashid syariah, Gus Dur menunjukkan bahwa Islam memiliki fleksibilitas untuk diterapkan dalam berbagai konteks tanpa harus berbenturan dengan nilai-nilai lokal atau prinsip universal (Zuhri, 2014).

Mengenang Gus Dur berarti mengenang seorang pemimpin yang melampaui batas-batas zamannya. Dengan keberanian, kebijaksanaan, dan rasa kemanusiaannya, Gus Dur telah memberikan kontribusi besar bagi keislaman dan keindonesiaan. Lima belas tahun setelah wafatnya, nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur tetap relevan, bahkan menjadi pedoman dalam menghadapi tantangan keberagaman di Indonesia.

Warisan Gus Dur adalah semangat untuk menjunjung tinggi keadilan, kemanusiaan, dan persaudaraan. Di tengah berbagai dinamika yang dihadapi bangsa ini, mengenang Gus Dur bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga merawat harapan untuk masa depan yang lebih baik. Gus Dur telah menunjukkan bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan fondasi untuk membangun Indonesia yang damai dan harmonis.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Uniersitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.