https://banyuwangi.times.co.id/
Opini

Populisme Digital dan Masa Depan Demokrasi

Jumat, 05 Desember 2025 - 15:10
Populisme Digital dan Masa Depan Demokrasi Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Universitas KH. Mukhtar Syafaat, Blokagung-Banyuwangi dan Pegiat Literasi.

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Pemilu 2024 telah kita lalui sebagai salah satu peristiwa politik terbesar dalam sejarah demokrasi Indonesia. Ia bukan sekadar ajang pergantian kekuasaan, tetapi juga cermin tentang ke mana arah nalar publik kita bergerak. Media sosial dipenuhi perdebatan, polarisasi identitas kembali menguat, dan agama sekali lagi menjadi salah satu simbol yang paling sering ditarik ke dalam arena politik. 

Di tengah situasi itulah, warisan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang pribumisasi Islam menemukan relevansinya yang paling mendesak, terutama ketika kita berbicara tentang generasi muda dan pendidikan digital sebagai aktor utama demokrasi hari ini.

Pribumisasi Islam dalam pemikiran Gus Dur bukanlah agenda kompromi teologis, melainkan cara berpikir etis untuk menempatkan agama dalam dialog yang sehat dengan kebudayaan, sejarah, dan realitas sosial. Islam tidak boleh diposisikan sebagai identitas politik yang kaku, apalagi sebagai alat mobilisasi elektoral. Ia harus hadir sebagai sumber nilai yang memuliakan manusia.

Dalam kumpulan esainya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006), Gus Dur menegaskan bahwa perbedaan adalah keniscayaan sejarah, bukan gangguan bagi iman. Agama justru kehilangan maknanya ketika ia dipakai untuk membenarkan penyingkiran terhadap yang lain.

Pemilu 2024 menandai semakin kuatnya karakter demokrasi digital di Indonesia. Kampanye tidak lagi sepenuhnya bertumpu pada panggung-panggung fisik, tetapi bergerak cepat di TikTok, Instagram, dan YouTube. Video pendek, potongan pidato, meme politik, dan narasi emosional beredar lebih cepat daripada klarifikasi dan analisis rasional.

Di ruang digital itulah populisme menemukan rumah barunya. Isu-isu identitas, sentimen keagamaan, serta dikotomi “kami” versus “mereka” diproduksi dalam format yang sederhana, provokatif, dan mudah viral. Politik tidak lagi bertarung terutama pada adu gagasan, melainkan pada adu emosi.

Fenomena ini mengingatkan kita pada pemikiran Marshall McLuhan bahwa medium adalah pesan itu sendiri. Cara kita berkomunikasi membentuk cara kita berpikir. 

Ketika politik dikonsumsi dalam format 30–60 detik yang serba cepat, maka nalar publik pun terdorong menjadi instan, reaktif, dan dangkal. Demokrasi bekerja dalam ritme yang terlalu cepat untuk sempat merenung.

Pemilu 2024 juga memperlihatkan bahwa politik identitas belum sepenuhnya surut. Meskipun tidak selalu tampil dalam bentuk yang kasar, sentimen keagamaan tetap digunakan sebagai kode emosional untuk mengikat loyalitas politik. Di ruang digital, agama kerap diperas menjadi slogan: siapa yang “paling islami”, siapa yang “paling membela umat”.

Populisme agama bekerja dengan cara yang khas: ia tidak menawarkan kompleksitas solusi, tetapi menyederhanakan masalah menjadi narasi moral. Dalam logika ini, dunia dibelah menjadi yang benar dan yang salah, yang suci dan yang dianggap menyimpang. Polarisasi tidak lagi dianggap sebagai masalah, tetapi dijadikan strategi politik.

Di titik inilah kita perlu kembali pada peringatan Gus Dur. Dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999), ia menyindir keras kecenderungan membela Tuhan dengan cara menyakiti sesama manusia. Baginya, agama tidak kehilangan kehormatannya karena kritik, tetapi justru runtuh ketika dipakai untuk melegitimasi kebencian.

Generasi Muda di Persimpangan Sejarah Digital

Pemilu 2024 menunjukkan satu fakta penting: generasi muda adalah pemilih dominan. Mereka tidak hanya menjadi objek kampanye, tetapi juga produsen konten politik. Namun dominasi ini menyimpan paradoks. Di satu sisi, anak muda memiliki akses informasi yang luas. Di sisi lain, mereka juga paling rentan terhadap misinformasi, manipulasi emosi, dan radikalisme digital.

Radikalisme hari ini jarang hadir sebagai ajakan kekerasan terbuka. Ia lebih sering muncul sebagai cara berpikir eksklusif: kebenaran tunggal, kecurigaan pada perbedaan, dan penolakan terhadap demokrasi sebagai sistem “produk Barat”. Semua itu menyebar bukan lewat kitab tebal, melainkan lewat video singkat yang terus diulang oleh algoritma.

Dalam konteks ini, kritik Paulo Freire tentang pentingnya pendidikan pembebasan menemukan momentumnya. Pendidikan, bagi Freire, tidak boleh menjadi proses “menabungkan” informasi dalam kepala peserta didik, tetapi harus menjadi proses penyadaran kritis. Generasi muda tidak cukup dipenuhi data, tetapi harus dibekali kemampuan membaca realitas secara reflektif.

Pribumisasi Islam sebagai Fondasi Pendidikan Digital

Pribumisasi Islam memberi dasar etik yang kuat bagi pendidikan digital generasi muda. Ia mengajarkan bahwa memahami agama tidak cukup dengan menghafal dalil, tetapi harus disertai kesadaran sosial, empati, dan kebijaksanaan budaya. Agama tidak dilepaskan dari konteks hidup, tetapi hadir justru untuk memuliakan kehidupan.

Tradisi Nahdlatul Ulama yang menjadi habitat kultural Gus Dur telah lama mempraktikkan pendidikan semacam ini melalui pesantren: ilmu tidak dipisahkan dari adab, dan keberagamaan tidak dipisahkan dari kemanusiaan. Model ini menjadi sangat penting ketika ruang belajar berpindah ke dunia digital yang nyaris tanpa filter moral.

Jika pendidikan digital hanya berisi kemampuan teknis cara membuat konten, cara menaikkan algoritma, cara viral tanpa fondasi etika, maka generasi muda akan tumbuh sebagai teknokrat emosi, bukan sebagai warga demokratis yang matang.

Pemilu 2024 memperlihatkan bahwa demokrasi kita bukan kekurangan teknologi, tetapi kekurangan etika publik. Kita memiliki platform, kita memiliki kebebasan, tetapi sering kehilangan tanggung jawab. Kritik berubah menjadi caci maki. Perbedaan berubah menjadi ancaman.

Di sinilah peran generasi muda menjadi penentu. Apakah mereka akan mewarisi demokrasi sebagai tradisi dialog, atau justru sebagai budaya konflik yang diproduksi tanpa henti di ruang digital?

Pribumisasi Islam mengajarkan bahwa iman sejati tidak melahirkan kegaduhan, tetapi kedalaman. Ia tidak berteriak paling benar, tetapi bekerja paling sungguh melindungi yang lemah. Dalam kerangka ini, menjadi religius di era digital bukan berarti paling keras di media sosial, melainkan paling konsisten menjaga martabat sesama.

Pemilu 2024 telah memberi kita pelajaran penting: masa depan demokrasi Indonesia tidak hanya ditentukan di bilik suara, tetapi juga di ruang kelas dan ruang digital tempat generasi muda membentuk cara berpikirnya. Populisme dan radikalisme digital tidak akan dilawan dengan sensor semata, tetapi dengan pendidikan kritis yang berakar pada etika kemanusiaan.

Di titik inilah warisan Gus Dur menemukan maknanya yang paling strategis. Pribumisasi Islam bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan modal intelektual untuk membangun masa depan demokrasi. Ia mengajarkan bahwa agama tidak boleh menjadi alat polarisasi, dan bahwa perbedaan bukan alasan untuk membenci, melainkan peluang untuk saling belajar.

Jika generasi muda hari ini mampu memadukan kecakapan digital dengan kedewasaan moral, maka demokrasi Indonesia tidak hanya akan bertahan, tetapi juga tumbuh lebih matang. Namun jika ruang digital dibiarkan dikuasai kebencian dan kebisingan, maka demokrasi akan terus berjalan di atas fondasi yang rapuh.

Seperti pesan Gus Dur yang terus bergema dari masa ke masa: yang paling pantas dibela bukanlah simbol, melainkan manusia. Selama prinsip itu masih hidup di hati generasi muda, harapan bagi demokrasi Indonesia akan tetap menyala.

 

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Universitas KH. Mukhtar Syafaat, Blokagung-Banyuwangi dan Pegiat Literasi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.