TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Tiap tahun ajaran baru, publik Banyuwangi disuguhi kegaduhan yang sama: kisruh Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB). Di balik antrian panjang di sekolah negeri, ada sunyi yang menyayat dari sekolah-sekolah swasta yang kekurangan murid, kekurangan guru, bahkan kehilangan harapan.
Sistem zonasi telah berganti menjadi sistem kuota domisili, afirmasi, dan prestasi. Namun perubahan ini tak otomatis membawa keadilan. Sebaliknya, ia justru memperlebar jurang antara negeri dan swasta. Bahkan terdapat beberapa kuota baru yang memperkuat dominasi sekolah negeri, seperti kuota Desa yang justru mempersempit ruang gerak sekolah swasta.
Masalah utamanya bukan semata teknis administratif, melainkan hasil dari konflik struktural yang tertanam dalam sistem pendidikan kita. Sekolah negeri, sebagai representasi otoritas negara, memperoleh dukungan regulasi, fiskal, dan legitimasi sosial secara terus menerus.
Sementara sekolah swasta diposisikan sebagai aktor subordinat yang hanya mendapat ‘sisa’ dari sistem. Dalam pendekatan teori konflik struktural, situasi ini bukan sekadar ketimpangan distribusi, tetapi merupakan konsekuensi dari perebutan akses terhadap sumber daya negara, dalam hal ini anggaran, siswa, dan pengaruh sosial.
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan rekrutmen guru melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Guru-guru berkualitas yang selama ini mengabdi di sekolah swasta direkrut ke sekolah negeri karena tawaran status dan kesejahteraan.
Ironisnya, fakta ini justru menunjukkan bahwa kualitas SDM antara negeri dan swasta sejatinya setara. Namun negara, alih-alih membangun mekanisme yang mendukung keseimbangan, justru menguras sumber daya manusia dari lembaga non-pemerintah.
Ini menunjukkan apa yang dijelaskan oleh Mancur Olson dalam collective rationality: bahwa keputusan dalam sistem besar sering kali tidak memperhitungkan efek kolektif, melainkan ditentukan oleh aktor dominan untuk mengakumulasi kepentingannya sendiri.
Lebih jauh, setiap penambahan pagu siswa baru di sekolah negeri sering dibingkai sebagai bukti kepedulian negara terhadap pendidikan rakyat. Namun secara struktural, penambahan pagu ini cenderung mengikuti logika fiskal: semakin besar jumlah siswa, semakin besar pula Dana BOS yang dikelola.
Sekolah menjadi alat untuk menyerap anggaran, bukan lagi ruang pelayanan berdasarkan kebutuhan sosial. Sementara itu, sekolah swasta yang kehilangan murid, tidak hanya kehilangan pendanaan, tapi juga kehilangan legitimasi.
Dalam kerangka teori reproduksi sosial, sistem pendidikan justru mereproduksi ketimpangan itu sendiri: memperkuat posisi dominan lembaga negara, dan melemahkan lembaga alternatif. Tak bisa dimungkiri, masyarakat juga turut melanggengkan ketimpangan ini melalui persepsi.
Sekolah negeri dianggap sebagai simbol mobilitas sosial dan keamanan ekonomi, sementara sekolah swasta sering diasosiasikan dengan ketidakpastian. Ketika orang tua berlomba memasukkan anaknya ke negeri, mereka secara tidak sadar memperkuat struktur sosial yang tidak adil. Inilah wajah dari reproduksi simbolik yang bekerja dalam mekanisme seleksi seperti SPMB.
Realitasnya, pelanggaran kapasitas rombongan belajar di sekolah negeri juga terjadi secara sistemik. Kelas-kelas diisi melebihi batas maksimal 32 siswa, sementara sekolah swasta di dekatnya kekurangan murid hingga nyaris tidak bisa membuka kelas.
Jika keadilan benar-benar ditegakkan, maka redistribusi siswa ke sekolah swasta harus menjadi opsi. Namun logika distribusi sering kalah oleh logika dominasi. Menurut studi OECD (2012), keadilan pendidikan bukanlah tentang perlakuan yang seragam, tetapi dukungan yang berbeda berdasarkan titik awal yang berbeda.
Sekolah swasta membutuhkan afirmasi kelembagaan, bukan hanya bantuan operasional berbasis siswa miskin. Tanpa itu, mereka akan terus dipinggirkan, meskipun fungsinya dalam sejarah pendidikan Indonesia sangat strategis.
SPMB semestinya bukan sekadar alat seleksi administratif, tetapi mekanisme keadilan distribusi. Bila dibiarkan seperti ini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang masuk sekolah negeri, melainkan siapa yang akan peduli saat sekolah swasta benar-benar hilang dari lanskap pendidikan nasional kita.
Dalam konteks lokal seperti Banyuwangi, sekolah swasta bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan ruang sosial dan kultural yang sering kali lebih dekat dengan komunitas. Mereka mampu menjembatani nilai-nilai keagamaan, budaya lokal, hingga fleksibilitas metode pengajaran.
Sayangnya, potensi ini tidak masuk dalam logika perencanaan pendidikan daerah yang cenderung menstandarkan semua hal secara teknokratik dan angka-angka statistik.
Jika sistem SPMB terus menempatkan sekolah swasta sebagai residu dari kelebihan kuota negeri, maka kita tidak hanya kehilangan lembaga, tetapi juga kehilangan keragaman sistem pendidikan.
Pemerintah daerah harus mulai melihat sekolah swasta sebagai mitra strategis, bukan kompetitor diam-diam dari sistem yang mereka rancang sendiri.
***
*) Oleh: Dr. M. Iqbal Fardian, SE, M.Si., Kepala SMA PGRI 10 Glenmore.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |