https://banyuwangi.times.co.id/
Opini

Menimbang Janji Konstituen dan Isu Strategis Nasional DPRD

Kamis, 10 Juli 2025 - 09:55
Menimbang Janji Konstituen dan Isu Strategis Nasional DPRD Dr. Emi Hidayati, S.Pd, M.Si, Akademisi Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Setiap siklus penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), relasi antara aktor teknokratik dan politik kerap menjadi titik kritis yang menentukan kualitas arah pembangunan. RPJMD idealnya bukan sekadar dokumen administratif atau teknokratis, tetapi merupakan arena kontestasi gagasan yang merumuskan jalan bersama menuju masa depan daerah. 

Namun dalam praktiknya, dokumen ini lebih banyak dikendalikan oleh kekuatan eksekutif dan tim teknis eksternal, seperti akademisi atau konsultan, yang seringkali minim dalam interaksi dengan masyarakat akar rumput (Andrews, 2013). 

Dalam konteks ini, DPRD semestinya memainkan peran vital sebagai kekuatan penyeimbang dan penjaga substansi kebijakan agar tetap berakar pada kebutuhan warga, sekaligus sejalan dengan kerangka isu strategis nasional seperti ketahanan pangan, energi, air, serta penguatan pendidikan dan kesehatan.

Fenomena tersebut dapat dianalisis melalui pendekatan rational choice theory (Downs, 1957; Shepsle, 2010), yang menyatakan bahwa aktor politik bertindak berdasarkan kalkulasi untung-rugi untuk memaksimalkan preferensi individual, terutama dalam rangka elektabilitas. 

Dalam praktik DPRD, preferensi rasional ini terwujud melalui intervensi terhadap penganggaran publik untuk mengamankan proyek-proyek berbasis konstituen seringkali dengan mengorbankan agenda strategis jangka panjang yang lebih bersifat publik goods.

Akibat dari perilaku ini adalah melemahnya dukungan terhadap agenda nasional yang telah terinternalisasi dalam RPJMD. DPRD lebih fokus pada negosiasi spasial dan sektoral sempit ketimbang membangun sinergi kebijakan lintas-skala. 

Fragmentasi ini menyebabkan kerentanan dalam kesinambungan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagaimana ditunjukkan dalam studi oleh Rodden (2006) tentang fiscal federalism dan policy misalignment.

Dari perspektif control of bureaucracy, DPRD idealnya berfungsi sebagai penjaga prinsip checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif. Namun dalam banyak kasus, relasi ini justru menjadi ruang negosiasi informal yang mengarah pada pengaruh politik jangka pendek. 

Hal ini menciptakan kondisi di mana birokrasi tidak lagi digerakkan oleh visi pembangunan yang koheren, tetapi oleh tuntutan politis yang bersifat klien-patron. 

Lebih jauh, jika ditinjau dari perspektif collaborative governance, dokumen RPJMD yang ideal harusnya menjadi hasil dari kolaborasi lintas aktor dengan prinsip transparansi, inklusivitas, dan tujuan bersama.

Sayangnya, karena preferensi rasional personal masih dominan dalam perilaku aktor DPRD, maka rasionalitas kolektif sebagai representasi publik seringkali dikalahkan.

Hal ini menciptakan institutional misfit, yaitu ketidaksesuaian antara sistem kelembagaan dan kebutuhan koordinasi kebijakan yang kompleks. DPRD yang tidak mampu menyambungkan aspirasi lokal dengan kerangka pembangunan nasional memperparah fragmentasi tata kelola dan menyebabkan melemahnya daya transformatif lembaga legislatif.

Masalah ini terkait dengan apa yang disebut oleh Friedrich Hayek (1945) sebagai the knowledge problem: bahwa pengetahuan tentang kondisi nyata di masyarakat bersifat terdistribusi, tidak pernah terkonsolidasi dalam satu pusat perencana. 

Kegagalan RPJMD dalam menangkap sinyal lokal, terutama dalam sektor agraria seperti peternakan dan perikanan, merupakan contoh nyata dari kegagalan sistem perencanaan yang tidak memanfaatkan tacit knowledge yang dimiliki oleh warga dan wakil rakyatnya.

Sayangnya, DPRD tidak memanfaatkan keunggulan informasional yang mereka miliki untuk memperkaya substansi kebijakan. Ketimpangan ini menyebabkan kekosongan pengetahuan (knowledge void) dalam perencanaan. Sebagian besar RPJMD hanya menyajikan statistik dan tren sektoral dalam bentuk tabel tanpa interpretasi kualitatif berbasis konteks lokal.

Dalam kondisi seperti ini, ruang-ruang seperti reses, musrenbang, atau jaring aspirasi tidak boleh dipandang sebagai ritual administratif semata, tetapi sebagai arena deliberatif. Sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas (1984) dalam theory of communicative action, deliberasi yang bermakna menuntut adanya komunikasi rasional yang dapat menghasilkan mutual understanding dan legitimasi normatif. Sayangnya, praktik forum-forum tersebut lebih bersifat simbolik daripada substantif.

Dengan demikian, DPRD tidak boleh hanya dilihat sebagai penyampai aspirasi atau pengawas anggaran, tetapi sebagai jembatan pengetahuan antara dokumen teknokratis dan kehidupan nyata masyarakat. 

Ketika komunikasi politik dilakukan dengan cara deliberatif, maka RPJMD dapat bermetamorfosis menjadi dokumen demokratis yang responsif, inklusif, dan representatif. Accountability dalam hal ini bukan hanya dalam arti fiskal, tetapi juga pertanggungjawaban atas arah dan substansi kebijakan pembangunan. (*)

***

*) Oleh : Dr. Emi Hidayati, S.Pd, M.Si, Akademisi Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.