TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Dalam percaturan dunia akademik kontemporer, publikasi di jurnal internasional bereputasi yang terindeks Scopus telah menjelma sebagai semacam “mata uang baru” yang menentukan status dan masa depan seorang dosen, peneliti, atau mahasiswa pascasarjana.
Di Indonesia, fenomena ini tampak nyata. Perguruan tinggi berlomba-lomba meningkatkan jumlah publikasi terindeks Scopus untuk kepentingan akreditasi, peringkat global, maupun legitimasi akademik.
Pemerintah bahkan mewajibkan mahasiswa doktoral untuk menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi sebagai syarat kelulusan. Akibatnya, dunia akademik seolah-olah bergerak dengan orientasi tunggal: bagaimana menembus jurnal Scopus.
Fenomena tersebut menimbulkan berbagai konsekuensi sosial. Media sosial dipenuhi keluhan akademisi muda yang menghadapi kesulitan menulis dalam bahasa Inggris akademik, memahami standar metodologi, dan menyesuaikan gaya analisis yang diakui secara internasional.
Lalu muncul industri jasa pendukung misalnya proofreading, penerjemahan, hingga “jasa titip publikasi” yang kerap berbiaya mahal. Realitas ini memperlihatkan betapa dominannya Scopus dalam membentuk habitus akademik kekinian.
Bahkan, peringkat universitas di kancah global seperti QS Ranking atau Times Higher Education sebagian ditentukan oleh jumlah publikasi Scopus. Maka, tidak mengherankan jika banyak perguruan tinggi lebih mementingkan kuantitas publikasi ketimbang relevansi riset dengan kebutuhan masyarakat. Akademisi akhirnya dihadapkan pada dilema, menulis demi “poin Scopus” atau menulis demi kebermanfaatan sosial.
Jika ditinjau dari perspektif teori sosial, kondisi ini sangat dekat dengan gagasan Antonio Gramsci mengenai hegemoni. Menurut Gramsci dalam bukunya “Selections from the Prison Notebooks (1971), dominasi tidak semata diwujudkan melalui kekuatan fisik, melainkan melalui dominasi ide, budaya, dan standar yang diterima secara sukarela oleh pihak yang didominasi.
Scopus merepresentasikan bentuk hegemoni epistemik, di mana standar ilmiah global yang mayoritas ditentukan Barat diterima tanpa banyak resistensi oleh akademisi di negara berkembang.
Michel Foucault dalam “Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1975) menambahkan bahwa pengetahuan tidak pernah netral, melainkan selalu terkait dengan relasi kuasa.
Dalam hal ini, Scopus bertindak sebagai penjaga gerbang yang menentukan pengetahuan mana yang sah dan pantas diakui, sementara pengetahuan yang tidak sesuai standar internasional dianggap kurang bermutu.
Pandangan Pierre Bourdieu dalam “Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste (1979) juga relevan. Konsep “modal simbolik” menjelaskan bahwa publikasi Scopus memberi nilai prestise bagi penulisnya.
Seorang akademisi dengan banyak publikasi terindeks akan lebih dihormati, lebih mudah memperoleh jabatan struktural maupun hibah penelitian. Sebaliknya, karya yang dipublikasikan dalam jurnal lokal seringkali dipandang kurang bergengsi meski manfaatnya nyata bagi masyarakat.
Realitas lapangan memperlihatkan paradoks yang tidak bisa diabaikan. Di banyak perguruan tinggi Indonesia, dosen sibuk mengejar publikasi Scopus demi akreditasi atau kenaikan pangkat. Untuk meraih jabatan Guru Besar, misalnya, seorang dosen harus memiliki publikasi di jurnal Scopus Q1 atau Q2 yang proses seleksinya sangat ketat.
Di sisi mahasiswa doktoral, beban publikasi Scopus sering menjadi hambatan besar. Banyak penelitian yang sebenarnya penting bagi konteks lokal, seperti riset mengenai pertanian tradisional atau sistem sosial masyarakat desa, justru sulit diterima di jurnal internasional karena dianggap kurang relevan secara global.
Akibatnya, mahasiswa harus memodifikasi topik agar sesuai dengan selera internasional, sekaligus kehilangan kekayaan lokal yang sebenarnya lebih urgen. Jurang antara riset untuk masyarakat dan riset untuk jurnal internasional semakin lebar.
Masyarakat awam petani, nelayan, atau pekerja informal jarang merasakan manfaat langsung dari artikel Scopus. Mereka lebih membutuhkan solusi konkret ketimbang publikasi akademik berbahasa Inggris yang sulit diakses.
Dampak paling serius dari dominasi Scopus adalah terbentuknya hegemoni pemikiran. Perlahan, kualitas seorang akademisi diukur dari jumlah publikasi Scopus. Karya tulis di jurnal nasional atau buku berbahasa Indonesia dianggap kurang kredibel.
Standar ini menimbulkan asimilasi epistemik, di mana pengetahuan lokal harus “disahkan” melalui kanal internasional untuk diakui. Artikel tentang kearifan lokal, misalnya, baru dianggap sahih ketika dipublikasikan di jurnal Scopus, padahal sebelum itu pengetahuan tersebut telah berfungsi di masyarakat selama ratusan tahun. Scopus tidak lagi sekadar alat indeksasi, melainkan telah menjadi penentu paradigma berpikir akademisi.
Namun, dominasi ini tidak boleh menutup mata terhadap kontribusi kritis Scopus. Secara positif, publikasi internasional memang memaksa akademisi meningkatkan standar riset. Artikel yang berhasil diterbitkan di jurnal Scopus telah melewati proses review ketat, sehingga kualitas metodologi dan ketajaman analisis lebih terjamin. Selain itu, Scopus membuka peluang kolaborasi lintas negara.
Akademisi Indonesia dapat menjalin kerjasama riset dengan peneliti mancanegara, saling mengutip, dan memperluas jaringan akademik. Hal ini memperbesar visibilitas Indonesia dalam peta keilmuan dunia.
Lebih jauh, tuntutan publikasi Scopus mendorong universitas memperbaiki manajemen riset, menyediakan dana penelitian, dan membangun budaya akademik yang lebih kompetitif. Dengan demikian, Scopus memang berfungsi sebagai katalis modernisasi dalam dunia ilmiah.
Meski demikian, manfaat tersebut hanya dapat dirasakan jika publikasi Scopus dipandang sebagai sarana, bukan tujuan akhir. Tanpa pengelolaan bijak, orientasi publikasi justru melahirkan praktik tidak sehat seperti riset instan, manipulasi data, dan perdagangan nama dalam artikel.
Oleh karena itu, perlu solusi yang mampu menyeimbangkan antara standar global dan kebutuhan lokal. Pemerintah bersama perguruan tinggi harus memberi apresiasi yang setara bagi publikasi nasional berkualitas, sehingga peneliti tidak semata mengejar jurnal internasional.
Selain itu, riset yang aplikatif dan menyentuh persoalan masyarakat harus dihargai sama pentingnya dengan artikel Scopus. Literasi akademik sejak awal juga perlu diperkuat, agar peneliti tidak hanya mengejar kuantitas publikasi, melainkan juga kualitas substansi.
Dengan strategi demikian, Scopus tetap dapat dimanfaatkan sebagai jembatan menuju globalisasi ilmu pengetahuan tanpa kehilangan relevansi sosial.
Scopus adalah instrumen penting dalam dunia akademik global, tetapi dominasi berlebihan menjadikannya hegemon pengetahuan. Diperlukan keseimbangan antara tuntutan internasional dan kebermanfaatan lokal agar pengetahuan tidak sekadar menjadi simbol prestise, tetapi benar-benar membawa kemajuan bagi masyarakat.
Dengan sikap kritis, akademisi dapat menjadikan Scopus sebagai sarana kemajuan, bukan belenggu baru dalam produksi ilmu pengetahuan. (*)
***
*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |