https://banyuwangi.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Ketika Hoaks Lebih Cepat dari Akal Sehat

Selasa, 18 November 2025 - 20:16
Ketika Hoaks Lebih Cepat dari Akal Sehat Nurvita Dwi Kurniawati, Universitas KH. Mukhtar Syafa’at Blokagung Banyuwangi Tadris Bahasa Indonesia.

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Dalam kehidupan digital hari ini, ruang media sosial telah menjadi tempat manusia bersandar untuk berbagi cerita, mencari hiburan, hingga membangun jejaring. Namun kemudahan itu sering kali berubah menjadi pedang bermata dua. 

Tidak sedikit orang yang terseret ke pusaran tekanan mental akibat fitnah, hoaks, dan penyalahgunaan informasi yang beredar tanpa kendali. Ruang yang seharusnya menjadi sarana berekspresi justru berkembang menjadi arena saling menjatuhkan, di mana nama baik dapat diremukkan tanpa suara, hanya melalui jempol dan layar.

Fenomena ini bukan lagi kasus perorangan. Ia telah menjelma menjadi pola yang berulang di berbagai kehidupan digital. Setiap hari, kita dipenuhi berita sensasional, potongan video yang terlepas dari konteks, dan komentar yang menghakimi tanpa proses verifikasi. 

Pada titik tertentu, batas antara pendapat dan tuduhan, antara kritik dan fitnah, menjadi sangat kabur. Di sinilah letak akar persoalannya. Teknologi berkembang cepat, tetapi kesadaran dan etika digital tidak ikut berjalan seirama.

Persoalan utama bukan sekadar platformnya, melainkan bagaimana masyarakat menggunakannya. Penyimpangan dalam penggunaan media sosial terutama penyebaran hoaks dan fitnah telah menciptakan ruang yang tidak aman bagi banyak orang. 

Keterbukaan informasi seharusnya memerdekakan, bukan melukai. Dan ketika informasi digunakan untuk merusak nama seseorang, itu bukan lagi kebebasan berekspresi, melainkan bentuk kekerasan yang tak terlihat.

Masalah ini cukup jelas dan dapat diamati tanpa perlu mencari contoh jauh-jauh. Kita sering melihat bagaimana satu unggahan yang tidak tervalidasi bisa menyebar cepat, memicu asumsi liar, lalu berubah menjadi “kebenaran” versi publik. 

Informasi yang dikemas secara emosional cenderung lebih cepat dipercaya daripada informasi yang bersandar pada data. Akibatnya, seseorang dapat dihujani komentar penuh prasangka oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenal dirinya secara personal.

Selain itu, dampak psikologisnya tidak dapat diabaikan. Mereka yang menjadi korban serangan digital kerap mengalami stres, kecemasan berlebih, bahkan menarik diri dari lingkungan sosial. Reputasi, yang dibangun selama bertahun-tahun, dapat runtuh hanya dalam hitungan jam. 

Tekanan sosial yang timbul bukan hanya berasal dari tuduhan, tetapi juga dari ketakutan bahwa penjelasannya tidak akan didengar karena opini publik terlanjur terkunci pada narasi yang salah. Ini merupakan bentuk kekerasan mental yang lebih senyap, tetapi tidak kalah membekas.

Di sisi lain, kita juga perlu mengakui bahwa media sosial memiliki banyak manfaat. Bagian ini penting untuk menjaga keseimbangan. Media sosial adalah ruang yang telah membantu banyak orang mengembangkan usaha, mengakses informasi pendidikan, bahkan mendapatkan dukungan ketika menghadapi kesulitan. Banyak pula yang berpendapat bahwa keterbukaan di media sosial memberi masyarakat kesempatan untuk menyuarakan hal yang tidak mereka dapatkan di ruang publik konvensional.

Namun di sinilah letak kelemahannya kebaikan media sosial sering dijadikan alasan untuk menoleransi penyalahgunaannya. Ada yang beranggapan bahwa “setiap orang bebas berpendapat,” seolah kalimat itu cukup untuk membenarkan penyebaran informasi tanpa tanggung jawab. 

Ada pula yang bersembunyi di balik anonimitas, mengira bahwa tidak terlihat berarti tidak perlu berhati-hati. Pandangan-pandangan ini perlu diluruskan. Kebebasan berekspresi bukan alasan untuk merugikan orang lain.

Masyarakat perlu dibimbing untuk mengenali ciri-ciri hoaks, memahami pentingnya verifikasi informasi, dan mengendalikan dorongan untuk membagikan sesuatu hanya karena terlihat menarik. 

Pendidikan baik melalui sekolah, komunitas, maupun kampanye publik harus berperan aktif dalam membangun pola pikir kritis. Selain itu, pengguna media sosial perlu dibiasakan untuk membaca secara utuh, bukan hanya berdasarkan judul atau potongan konten.

Oleh karena itu, kita perlu menyadari bahwa setiap unggahan yang kita buat memiliki dampak. Kata-kata yang dilontarkan di dunia maya tidak pernah benar-benar menghilang. Ia dapat membangun, tetapi juga dapat menghancurkan. Ketika nama baik seseorang bisa diremukkan tanpa suara, maka kehati-hatian adalah bentuk empati paling sederhana yang dapat kita lakukan. 

Media sosial akan tetap menjadi ruang yang luas dan bebas, tetapi bebas bukan berarti sembarangan. Dengan kesadaran bersama, kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih manusiawi, saling menghargai, dan tidak lagi menjadi arena luka yang tak tampak.

***

*) Oleh : Nurvita Dwi Kurniawati, Universitas KH. Mukhtar Syafa’at Blokagung Banyuwangi Tadris Bahasa Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.