TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Bayangkan sebuah otak manusia purba yang hidup ratusan ribu tahun lalu. Ia tumbuh dalam dunia yang sederhana: ada hutan, ada hewan buruan, ada ancaman nyata, dan ada kelompok kecil tempat manusia saling berbagi cerita di sekitar api unggun.
Semua berjalan lambat, stabil, dan bisa ditebak. Selama jutaan tahun itulah lingkungan yang membentuk cara kerja otak kitasecara perlahan, penuh pertimbangan, dan hanya bereaksi pada hal-hal penting.
Namun tiba-tiba, dalam dua dekade terakhir, tanpa ada perubahan biologis sedikit pun, kita memasukkan otak yang lambat dan berhati-hati itu ke sebuah dunia baru: dunia digital yang serbacepat, berisik oleh notifikasi, dan tidak pernah berhenti mengalirkan informasi.
Rasanya seperti menaruh hewan hutan ke tengah kota besar pada jam sibuk. Otak kita kaget, kewalahan, tapi tidak pernah diberi waktu untuk beradaptasi. Kita menjalankan sebuah eksperimen global dan sebagian besar dari kita bahkan tidak sadar sedang mengalaminya.
Perubahan itu paling terasa pada cara otak kita merespons dopamin, zat kimia kecil yang membuat kita merasa senang dan termotivasi. Dulu, otak memberikan dopamin saat kita menemukan makanan, berhasil menyelesaikan tugas, atau mendapat pengakuan dari kelompok. Sekarang? Notifikasi kecil yang muncul di layar saja sudah cukup untuk membuat dopamin melonjak.
Platform digital paham betul bagaimana memancing respons itu. Mereka menciptakan infinite scroll yang tak pernah habis, notifikasi yang membangkitkan rasa penasaran, dan kejutan-kejutan kecil berupa like atau komentar. Otak pun belajar bahwa mengecek ponsel terasa sama pentingnya dengan kebutuhan dasar lainnya. Tanpa sadar, kita terjebak dalam pola yang mirip dengan kecanduan.
Gangguan terbesar berikutnya muncul pada kemampuan fokus. Kita hidup di zaman di mana perhatian adalah komoditas paling mahal. Dunia digital membuat kita berpindah dari satu hal ke hal lain dengan sangat cepat. Kita menyebutnya multitasking, padahal otak sebenarnya hanya melompat-lompat tanpa benar-benar menyelesaikan apa pun. Setiap lompatan menguras energi mental, membuat kita lebih mudah lelah dan sulit berkonsentrasi.
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang terlalu sering terpapar media digital justru lebih sulit menyaring gangguan dan lebih lambat berpindah tugas dengan efisien. Lama-kelamaan, bagian otak yang mengatur fokus menjadi kurang terlatih, seperti otot yang jarang dipakai. Kita terbiasa dengan rangsangan cepat, sehingga merasa bosan ketika harus duduk diam membaca, menulis, atau berpikir mendalam.
Ingatan kita pun ikut berubah. Fenomena yang dikenal sebagai “efek Google” membuat kita lebih mengingat cara mencari informasi daripada isi informasinya. Semua terasa dekat cukup ketik, cukup cari sehingga otak memilih untuk tidak menyimpannya dalam memori jangka panjang. Akibatnya, ingatan kita menjadi luas tapi dangkal. Kita tahu banyak hal, tapi sedikit yang benar-benar tersimpan kuat. Kemampuan untuk membangun pemahaman mendalam pun menurun.
Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam pikiran, tetapi juga dalam relasi sosial. Dulu, interaksi tatap muka memberi ruang bagi senyum, intonasi, gerakan tubuh unsur-unsur halus yang membangun empati.
Kini, banyak interaksi diringkas menjadi teks pendek, emoji, atau foto. Sirkuit otak yang berperan dalam memproses hubungan sosial kehilangan kesempatan untuk berlatih. Tanpa kita sadari, kita mulai melihat orang lain sebagai akun, bukan manusia yang punya perasaan.
Polarisasi meningkat, komentar kasar mudah muncul, dan tekanan perbandingan sosial membuat stres meningkat. Media sosial, dengan tampilan hidup yang serba sempurna, menambah tekanan melalui hormon kortisol yang mendorong kecemasan.
Meski begitu, semua belum terlambat. Otak manusia tetap plastis, ia bisa berubah mengikuti kebiasaan yang kita bentuk. Kita bisa kembali melatihnya. Kita bisa memulainya dengan tugas sederhana: fokus pada satu hal dalam satu waktu, mematikan notifikasi saat butuh ketenangan, dan memberi jeda pada diri sendiri melalui “puasa digital”.
Meditasi dan mindfulness membantu menenangkan pusat perhatian di otak. Dan kembali membaca buku atau terlibat dalam percakapan panjang dapat mengasah kedalaman berpikir yang mulai hilang.
Persoalan kita di era digital bukan sekadar dibanjiri informasi. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjaga kualitas perhatian, kedalaman refleksi, dan hubungan manusiawi di tengah dunia yang terus menyita konsentrasi kita.
Teknologi seharusnya menjadi alat, bukan penguasa atas pikiran. Menjadi manusia di era ini berarti berani memilih dengan sadar, membatasi diri, dan tidak melupakan bahwa otak kita punya batas yang harus dihormati.
Perjuangan terbesar kita hari ini adalah menjaga kedaulatan pikiran. Di tengah arus digital yang deras, mempertahankan kemanusiaan adalah bentuk kemenangan yang paling penting. (*)
***
*) Oleh : Nurvita Dwi Kurniawati, Universitas KH. Mukhtar Syafa’at Blokagung Banyuwangi Tadris Bahasa Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |