https://banyuwangi.times.co.id/
Forum Mahasiswa

Ironi Ideologi dalam Pendidikan

Senin, 08 Desember 2025 - 15:10
Ironi Ideologi dalam Pendidikan Zainul Ma’arif Assahrowardi, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Ironi ideologi dalam pendidikan muncul dari ketegangan yang melekat, pendidikan seharusnya netral, berbasis bukti, dan menumbuhkan keterampilan kritis, akan tetapi pada saat yang sama, ia menjadi sarana menanamkan nilai, keyakinan, dan ideologi tertentu yang mencerminkan kepentingan politik atau sosial dominan.

Masyarakat sering sepakat bahwa pendidikan harus dijauhkan dari “medan pertempuran politik” dan bersandar pada bukti ilmiah. Ironisnya, sangat sedikit yang percaya bahwa ideologi tidak memainkan peran penting. Faktanya, ideologi membentuk kebijakan, kurikulum, dan praktik pendidikan, baik secara eksplisit maupun implisit.

Pendidikan juga memiliki tujuan ganda yang bertentangan. Di satu sisi, ia seharusnya memberdayakan individu untuk berpikir kritis dan mempertanyakan masyarakatnya, sebagaimana ditekankan James Baldwin “Tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan dalam diri seseorang kemampuan melihat dunia secara mandiri, membuat keputusan sendiri, mengajukan pertanyaan, mempertanyakan otoritas, dan menantang dunia di sekitarnya.”

Namun, di sisi lain, pendidikan juga melanggengkan nilai dan struktur kekuasaan yang ada. Ironisnya, alat yang dimaksudkan untuk membebaskan ini sering kali menjadi instrumen kontrol sosial.

Fakta sosial dan data statistik menunjukkan ketimpangan yang nyata dalam pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2023–2024, sekitar 5,11% penduduk dewasa di pedesaan tidak pernah bersekolah, dibandingkan hanya 1,93% di perkotaan. 

Selain itu, sebanyak 12,39% penduduk desa gagal menamatkan pendidikan dasar, sedangkan di perkotaan angkanya hanya 6,62%. Ketimpangan ini semakin terasa pada jenjang SMA/sederajat, di mana hanya 27,98% penduduk desa yang menamatkan pendidikan menengah, dibandingkan 49,16% di perkotaan. 

Secara keseluruhan, total sekolah di Indonesia mencapai sekitar 439.784 sekolah di seluruh jenjang pendidikan, menunjukkan upaya perluasan akses, tetapi kenyataannya kualitas dan kesempatan belajar masih sangat dipengaruhi lokasi dan kondisi sosial ekonomi. 

Data ini menegaskan bahwa banyak anak di pedesaan atau dari keluarga kurang mampu tidak memiliki peluang yang sama untuk menyelesaikan pendidikan tinggi, sementara siswa dari latar belakang lebih sejahtera lebih mudah mengakses fasilitas, guru berkualitas, dan pendidikan tambahan. Ketidakmerataan ini juga berdampak pada kesetaraan gender, di mana mobilitas sosial perempuan masih terbatas di beberapa wilayah.

Dari perspektif teoretik, Paulo Freire dan teori pendidikan kritis menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan, yang artinya siswa menjadi subjek yang berpikir mandiri, sadar akan struktur sosial, dan mampu menantang ketidakadilan.

Namun praktik nyata dan data menunjukkan bahwa pendidikan sering menjadi alat reproduksi struktur kekuasaan, kurikulum, metode pengajaran, dan sistem evaluasi bisa menanamkan nilai-nilai dominan, bukan mengembangkan kesadaran kritis. Sistem yang menekankan hafalan dan nilai ujian lebih banyak memproduksi tenaga kerja formal, tapi kurang membekali cara berpikir kritis.

Ketegangan lain muncul antara pendidikan ideal dan hasil aktual, banyak sekolah mengklaim mengimplementasikan metode progresif, tetapi ketidakmerataan kondisi fasilitas, guru, dukungan sosial yang membuat hasilnya tidak setara. Siswa di wilayah terpencil atau kurang beruntung ekonomi sering tertinggal jauh dibanding siswa di kota atau dengan akses lebih baik.

Di Indonesia, penanaman ideologi negara seperti Pancasila juga menghadapi ironi. Nilai-nilai Pancasila dianggap penting dan resmi diajarkan, tetapi pemahaman dan penerapannya di generasi muda, terutama dari wilayah dan latar belakang kurang mendukung sering lemah. Sistem formal gagal mentranslasikan ideologi menjadi praktik bermakna, sehingga nilai-nilai resmi cenderung simbolik semata.

Ironi terbesar pendidikan terletak pada kenyataan bahwa sistem yang seharusnya netral dan mengejar kebenaran objektif justru menjadi arena perebutan ideologi, nilai, dan kekuasaan. Siswa tidak hanya belajar fakta atau keterampilan, tetapi juga menghadapi benturan nilai dan struktur sosial yang membentuk cara pandang dan masa depan mereka.

Solusi jangka panjang dapat ditempuh dengan memastikan pemerataan akses dan kualitas pendidikan, menekankan pendidikan kritis dan karakter dalam kurikulum, memberdayakan guru sebagai fasilitator berpikir mandiri, serta menyeimbangkan sistem evaluasi agar tidak hanya mengukur hafalan dan nilai, tetapi juga kemampuan berpikir kritis dan kesadaran sosial. 

Dengan langkah-langkah ini, pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana pembebasan, pemerataan, dan transformasi sosial, bukan sekadar alat reproduksi kekuasaan.

***

*) Oleh : Zainul Ma’arif Assahrowardi, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.