TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Ada sebuah kegelisahan yang terus mengetuk kepala saya setiap kali membaca berita tentang konflik di ruang sekolah: mengapa guru, mereka yang seharusnya menjadi figur paling aman bagi anak, kini justru semakin sering berada di posisi terancam?
Kisah tentang seorang guru di Kendari yang dituduh melakukan pelecehan hanya karena memeriksa kondisi siswi yang katanya sedang demam adalah salah satu potret paling pahit dari problem ini. Alih-alih dihormati atau dilindungi, ia justru diamuk warga sebelum kebenaran diuji di ruang pengadilan.
Peristiwa seperti ini memperlihatkan bahwa profesi guru hari ini berada di tengah pusaran dilema sosial yang semakin sulit ditebak: ketika niat baik bisa berubah menjadi ancaman, dan kepedulian justru dibaca sebagai bentuk pelanggaran.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan satu kasus, tetapi gambaran dari rapuhnya relasi kepercayaan antara guru, orang tua, dan masyarakat. Ruang kelas modern tidak lagi sesederhana dulu. Di era ketika kecurigaan publik tumbuh lebih cepat daripada fakta, guru tiba-tiba bisa menjadi tersangka, divonis oleh opini sebelum sempat menjelaskan situasi sebenarnya.
Dalam konteks ini, kita harus jujur mengakui bahwa pembelajaran hari ini berada dalam tekanan sosial yang tidak ringan. Di satu sisi, masyarakat menuntut guru lebih peduli, lebih peka, dan lebih dekat dengan murid.
Namun di sisi lain, sentuhan kecil bahkan yang berkaitan dengan kesehatan atau keselamatan dipantau dengan penuh kecurigaan. Guru diminta menjadi pembimbing, sekaligus dituntut untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun. Ruang geraknya semakin sempit, sementara bebannya kian besar.
Yang juga perlu kita pertanyakan adalah bagaimana perlindungan terhadap guru begitu mudah runtuh hanya karena amarah sesaat. Ketika tuduhan muncul, publik cenderung secara refleks menempatkan guru sebagai pihak bersalah. Media sosial memperparahnya. Sebuah video singkat tanpa konteks dapat memantik amukan massa, sementara klarifikasi muncul belakangan dan sering kali tak lagi didengar.
Kasus guru di Kendari adalah contohnya: sebelum proses hukum berjalan, sebelum bukti diuji, orang tua sudah mendatangi sekolah, memukul, menarik, dan menghakimi. Bagaimana mungkin seorang pendidik bisa bekerja dengan tenang jika keselamatannya sendiri tidak terjamin?
Kita tidak menutup mata bahwa kasus kekerasan dan pelecehan oleh oknum guru memang terjadi. Namun menjadikan setiap guru sebagai tersangka potensial bukanlah solusi. Yang salah harus dihukum, tetapi yang tidak bersalah pun berhak dilindungi. Ada garis batas yang harus dijaga: keadilan tidak boleh digantikan oleh kecurigaan, dan proses hukum tidak boleh digantikan oleh emosi.
Yang juga menjadi pertanyaan besar adalah: di mana posisi negara dalam semua ini? Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memang menjamin perlindungan profesi.
Namun dalam praktiknya, perlindungan itu rapuh, seolah hanya menjadi teks yang tidak mampu melindungi tubuh. Prosedur penanganan krisis di sekolah sering kali tidak jelas, perlindungan hukum bagi guru minim, dan tidak ada mekanisme yang benar-benar melindungi pendidik ketika konflik tiba-tiba meledak.
Guru membutuhkan SOP yang jelas: bagaimana menangani murid sakit, bagaimana menyentuh murid secara etis, bagaimana berinteraksi di ruang privat, dan terutama bagaimana sekolah harus bertindak ketika ada tuduhan muncul. Tanpa itu, guru akan terus berjalan dalam ketakutan, takut salah bicara, salah bertindak, atau bahkan salah niat.
Kita juga perlu berbicara tentang masyarakat. Mengapa reaksi kita terhadap isu guru begitu reaktif dan penuh amarah? Sebagian karena trauma kolektif: banyak kasus pelecehan di sekolah yang dulu ditutupi, sehingga kini setiap isu langsung dibalas dengan kemarahan.
Namun membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan baru bukan jawabannya. Kekerasan terhadap guru hanya menciptakan luka baru yang tidak kalah berbahaya bagi ekosistem pendidikan.
Sekolah seharusnya menjadi ruang paling aman bagi semua pihak guru maupun murid. Tidak adil jika murid dilindungi sementara guru dibiarkan menghadapi massa seorang diri. Tidak adil jika guru harus mengajar sambil waswas bahwa tindakan kecil bisa membawanya pada jerat hukum atau amukan orang tua.
Di tengah kerentanan ini, kita perlu menata ulang relasi kepercayaan di sekolah. Orang tua harus berhenti menghakimi terlebih dahulu dan belajar mendengar. Guru harus dibekali literasi etika profesi dan protokol yang lebih jelas. Negara harus hadir secara konkret, bukan hanya lewat undang-undang, tetapi dalam sistem perlindungan yang bisa bekerja dalam situasi nyata.
Kita sedang berdiri di persimpangan yang menentukan. Apakah kita ingin menciptakan ekosistem pendidikan yang penuh saling curiga, atau sebuah ruang belajar yang berlandaskan kepercayaan dan perlindungan yang setara? Jika kita gagal melindungi guru hanya karena ketakutan kolektif yang berlebihan, maka pada akhirnya kita sedang menghancurkan fondasi pendidikan itu sendiri.
Karena tanpa rasa aman, guru tidak bisa mengajar dengan sepenuh hati. Tanpa perlindungan yang adil, kepedulian bisa disalahartikan sebagai pelanggaran. Dan tanpa keberanian untuk memperbaiki sistem, ruang kelas modern hanya akan menjadi tempat di mana niat baik dipertanyakan, dan profesi guru perlahan kehilangan kemuliaannya.
Guru bukan musuh. Guru bukan ancaman. Guru adalah cahaya yang seharusnya dijaga, bukan dibakar oleh amarah.
Jika bangsa ini masih ingin berdiri di atas fondasi yang kokoh, maka perlindungan terhadap guru bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan moral yang tidak boleh ditawar.
***
*) Oleh : Anis Nurlatifah, Mahasiswa Universitas KH. Mukhtar Syafa’at Blokagung Banyuwangi Tadris Bahasa inggris.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |