TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan kemajuan suatu peradaban bangsa. Setiap warga negara seharusnya dijamin oleh negara untuk mendapatkan pendidikan dengan adil dan layak.
Salah satu contoh peran penting pendidikan dalam menentukan perkembangan peradaban suatu bangsa adalah ketika Jepang pada saat Perang Dunia II di bom atom oleh sekutu. Kaisar Jepang saat itu yang bernama Kaisar Hirohito langsung memerintahkan para jendralnya untuk mencarikan guru yang masih selamat dan hidup dari bom atom tersebut.
Betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar Jepang saat itu. Sama seperti betapa bernilainya guru saat ini. Jepang menjadi negara maju seperti saat ini tak lepas dari pengaruh dan campur tangan dari seorang guru. Tanpa guru, mungkin Jepang saat ini akan tetap terpuruk dan takkan menjadi salah satu negara yang besar, negara adikuasa dan negara yang ditakuti oleh negara-negara lain.
Bahkan saat ini, Jepang telah menjadi ancaman yang sangat serius untuk negara yang pernah menjadikkannya terpuruk, yakni Amerika Serikat. Kemajuan Jepang tersebut hanyalah sebuah ilustrasi dan pengibaratan yang sangat sederhana tentang pentingnya sosok guru. Perkembangan Jepang yang begitu cepat karena penghargaan mereka yang begitu tinggi untuk guru sepatutnya harus kita tiru.
Salah satu perintah konstitusi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Perintah ini harus selalu dan wajib dipegang oleh para pengajar, khususnya guru.
Hakikat dari seorang guru adalah mengajarkan segala hal yang baik, hal baik pada aspek jasmani maupun hak baik pada aspek rohani bagi para murid-muridnya. Prinsip yang fundamental ini harus selalu dipegang agar para guru senantiasa selalu memberikan dedikasi tinggi, totalitas dan kepedulian yang mendalam ketika mengajar.
Selain itu, ada beberapa prinsip fundamental yang harus dimiliki oleh seorang guru. Yang pertama adalah, kita harus ingat bahwa ketika kita mengajar secara otomatis kita juga belajar. Artinya, mengajar adalah belajar. Prinsip fundamental yang selanjutnya adalah seorang guru harus memahami dan mengakui bahwa seorang guru bukanlah seorang dewa yang selalu benar dan murid bukanlah seekor kerbau yang selalu salah. Artinya, guru harus mempunyai pola pikir yang terbuka.
Guru tidak boleh selalu merasa benar. Guru-guru yang seperti ini sebenarnya adalah guru yang tidak bisa memahami hakikat dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan lahir dari proses dialektika yang sangat panjang dari setiap ilmuwan, selalu ada perbedaan pendapat dari setiap ilmuwan. Perbedaan pendapat itulah yang melahirkan sebuah konsensus. Hakikat ilmu pengetahuan harus dan wajib kita ketahui bersama, terlebih kita seorang guru. Ketika kita sudah memahami hakikat dari ilmu pengetahuan, seharusnya kita tidak memiliki sikap kepongahan.
Selanjutnya, kita harus selalu bersikap egaliter terhadap para murid-murid kita. Artinya, dalam proses pembelajaran tidak ada status yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah antara guru dan murid. Pada hakekatnya, status guru dan murid adalah sederajat. Mengapa saya katakan sederajat? Secara fundamental, manusia adalah mahluk yang diwajibkan untuk selalu belajar.
Jadi, meskipun kita guru, semestinya kita juga harus tetap belajar. Dari poin inilah, saya berpendapat bahwa status guru dan murid adalah sederajat. Karena masih sama-sama belajar. Maka dari itu, seorang guru harus menghindari bersikap seolah-olah statusnya lebih tinggi dari para muridnya.
Pekerjaan dari seorang guru adalah pekerjaan etis, bukan pekerjaan teknis. Artinya, meskipun dengan berbagai kendala yang dialami oleh seorang guru, guru tetap berkewajiban memberikan pelayanan pembelajaran dengan totalitas dan dedikasi yang tinggi. Maka dari itu, seorang guru harus memiliki integritas yang tinggi. Integritas yang tinggi itulah yang menentukan bagaimana kita bisa berdedikasi dengan baik, bagaimana kita bisa totalitas dalam mengemban amanah dan bagaimana kita bisa mengajar dengan kepedulian yang tinggi dalam situasi maupun keadaan apapun. Kita ketahui bersama, dengan datangnya tamu yang tak diundang, yaitu pandemi Covid-19 telah merubah segala tatanan sosial dunia dan Indonesia, khususnya di bidang pendidikan.
Banyak lembaga pendidikan dari level TK hingga level Perguruan Tinggi juga terdampak oleh pandemi Covid-19. Tatanan yang baru ini membuat para pemangku pendidikan di negara kita membuat kebijakan-kebijakan ataupun program-program agar kita bisa menyesuaikan dengan kondisi yang sekarang. Mulai perubahan kurikulum, perubahan metode pembelajaran ataupun yang lainnya. Kebijakan maupun program-program tersebut adalah langka untuk memulihkan pendidikan agar kita bisa bangkit lagi.
Situasi dan kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi selama 2 tahun lebih ini harus menjadi pembelajaran kepada semua elemen yang berada di dunia pendidikan. Bagaimanapun situasi dan kondisi yang kita hadapi dalam mengemban amanah ini harus selalu kita laksanakan dengan niat suci dan dengan semangat moral kebangsaan. Seperti yang saya katakan diawal, bahwa pekerjaan dari seorang guru adalah pekerjaan etis, bukan pekerjaan teknis. Artinya, kita harus mengedepankan integritas diri kita dan nilai-nilai kebaikan yang luhur dalam mengajar anak-anak bangsa. Maka dari itu, dalam artikel ini saya ingin lebih fokus membahas soal-soal yang lebih fundamental, yang lebih substantif. Dari pada soal-soal yang lebih bersifat teknis.
Mengapa demikian? Jika kita terlalu fokus pada soal-soal yang bersifat teknis, kita akan mengalami kesusahan ketika menghadapi soal-soal yang lebih bersifat etis. Akan tetapi sebaliknya, jika kita sudah mengerti makna hakikat dari soal-soal yang bersifat etis, kita akan lebih mudah menghadapi soal-soal yang bersifat teknis. Karena bagi seorang guru, soal-soal yang bersifat etis wajib untuk kita ketahui dan kita pahami terlebih dahulu dari pada soal-soal yang bersifat teknis. Karena sekali lagi, pekerjaan guru adalah pekerjaan etis, bukan pekerjaan teknis.
Dengan adanya pandemi Covid-19 ini, seharusnya menjadi sebuah momentum bagi kita untuk merubah mindset kita menjadi lebih terbuka dan lebih baik. Sudah bukan jamannya seorang guru yang bermental feodal, guru yang anti kritik, guru yang gila hormat, guru yang tidak bisa menerima sudut pandang yang lain dan guru yang alergi terhadap perbedaan pendapat. Jika guru-guru masih bersifat pongah seperti itu, lantas apa gunanya ilmu pengetahuan? Apa gunanya sekolah? Padahal, seperti yang saya tulis diawal, proses terciptanya konsensus terhadap suatu ilmu atau bahkan pengetahuan melalui proses dialektika yang sangat panjang.
Jika guru-guru kita masih mempunyai mental-mental feodal, bagaimana masa depan anak-anak bangsa? Bagaimana tanggung jawab kita terhadap para orangtua murid-murid kita? Bagaimana dengan pesan konstitusi? Bagaimana tanggung jawab kita kepada bangsa ini? Dan bagaimana tanggung jawab kita kepada tuhan? Padahal kita ketahui bersama, dinamika kehidupan global saat ini adalah dinamika kehidupan yang sangat dinamis. Apakah kita sebagai sebuah satu kesatuan bangsa akan semakin tertinggal? Pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti inilah yang harus kita renungkan bersama.
Pendidik, khususnya guru adalah garda terdepan Bangsa Indonesia dalam aspek pendidikan. Memiliki sifat integritas disini menjadi poin wajib yang tak bisa ditawar oleh seorang guru. Kemajuan pola berpikir anak-anak bangsa kita bergantung dengan bagaimana cara kita mendidiknya. Bangsa Indonesia yang notabene adalah sebuah bangsa yang multikultural. Kondisi yang multikultural ini seharusnya menjadi potensi positif bangsa Indonesia untuk bersaing dengan bangsa-bangsa yang lainnya. Tidak ada suatu bangsa di dunia ini yang memiliki ratusan hingga ribuan tradisi dan budaya yang bisa hidup berdampingan. Seperti yang telah kita ketahui bersama, dari ujung Sabang hingga ujung Merauke terdapat ribuan tradisi dan budaya masyarakat yang hidup berdampingan. Maka dari itu, seorang guru seharusnya memiliki semangat berlandaskan moral kebangsaan dalam mendidik putra-putri bangsa.
Jika semangat moral kebangsaan dan poin-poin fundamental yang sudah saya tulis diatas senantiasa dipegang dan dijalankan oleh guru-guru kita, pastinya pesan konstitusi yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan lagi sekedar menjadi utopia kita. Kita akan menjadi bangsa yang besar, bangsa yang cerdas, bangsa yang berwibawa dan bangsa yang berdikari. Semua itu bisa tercapai, tergantung kesadaran kita memahami dan menjalani peran yang sudah ditakdirkan tuhan untuk kita, yaitu menjadi seorang guru.
Ki Hajar Dewantara pernah berkata “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Penuh filosofis dan sangat dalam sekali maknanya. Dan itulah peran yang harus selalu dilakukan oleh para guru. Perkataan itu seharusnya bukan hanya menjadi slogan yang tak bermakna di dinding-dinding kelas dan sekolah. Ki Hajar Dewantara telah mengajarkan bahwa, menjadi seorang pendidik atau guru, kita harus memiliki integritas yang tinggi, kita harus memiliki kebijaksanaan, kita harus memiliki semangat moral bangsa yang tinggi. Sekali lagi, sudah bukan jamannya guru memiliki mental-mental feodal. Kita harus selau ingat bahwa ketika kita mengajar, kita juga belajar.
Maka dari itu, tidak ada status yang lebih tinggi ataupun status yang lebih rendah antara guru dan murid. Dalam konteks proses belajar, sekali lagi tidak ada status yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Karena manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang selalu harus belajar. Tidak peduli tua maupun muda. Dengan demikian, semoga kedepannya semua pemangku kebijakan, di dunia pendidikan dari pusat hingga daerah lebih memiliki kepedulian terhadap para putra-putri bangsa.
Kebijakan yang baik sangat menentukan masa depan mereka. Dan untuk para guru, dengan adanya pandemi Covid-19 serta pelaksanaan pendidikan atau pembelajaran jarak jauh yang penuh dengan permasalahan bisa menggugah kepedulian kita terhadap masa depan anak-anak bangsa. Sekali lagi, integritas sangat penting dan wajib dimiliki oleh seorang guru dari pada popularitasnya. Karena integritas akan mempengaruhi bagaimana kita dalam melayani anak-anak bangsa.
***
*) Oleh: Bintang Maulana Ichsan, Guru SMP Negeri 2 Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |