TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Suasana Balai Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi, Jumat (10/10/2025), berubah riuh. Sekitar 300 warga memenuhi halaman kantor desa, sebagian membawa spanduk dan sebagian lagi hanya berdiri dengan raut tegang.
Kedatangan warga tersebut dengan satu tujuan, yakni memperjuangkan agar Masjid Al-Mu’minin, rumah ibadah yang mereka bangun secara swadaya, kembali ke tangan warga.
Sejarah Konflik Tanah Masjid
Penelusuran Times Indonesia, konflik ini bukan muncul tiba-tiba. Akar kisahnya dimulai pada tahun 2012, saat Almarhum KH Agus Nasik Yahya, seorang tokoh agama yang dihormati di Gintangan, membeli sebidang tanah seluas kurang lebih 1.440 meter persegi milik Atmojo, yang dijadikan lahan Masjid di Dusun Krajan, RT 3 RW 4, Desa Gintangan.
Namun, di tengah semangat membangun rumah ibadah, dana menjadi tantangan besar. Akhirnya diputuskan yang awalnya hendak dijadikan sertifikat wakaf, dialihkan menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).
Menurut warga, saat itu Kyai menunjuk Muhaidori sebagai atas nama sertifikat karena sebagai santri senior. Selanjutnya, seperti tujuan awal, sertifikat diagunkan ke Koperasi Serba Usaha Karya Utama untuk pelunasan tanah dan pembangunan masjid.
Tidak butuh waktu lama, di tahun yang sama, pinjaman tersebut berhasil dilunasi, bahkan warga memiliki bukti pelunasannya. Namun tanpa sepengetahuan masyarakat, sertifikat tanah itu kembali diagunkan oleh Muhaidori ke beberapa koperasi dan bank lain.
Sementara itu, masyarakat tetap bahu-membahu melanjutkan pembangunan masjid. Hingga akhirnya, pada tahun berikutnya, Masjid Al-Mu’minin berdiri megah dan menjadi pusat kegiatan keagamaan warga.
Ketenangan itu tak berlangsung lama. Situasi sebenarnya, baru terungkap ketika Masjid Al-Mu’minin tiba-tiba disegel oleh pihak Bank Mandiri pada 24 September 2025, setelah diketahui bahwa pinjaman atas nama Muhaidori tidak dapat dilunasi.
Bagi warga Gintangan, penyegelan itu bukan sekadar penutupan bangunan, tapi luka batin. Apalagi setelah Mohammad Lukman atau akrab disapa Gus Lukman, putra Almarhum KH Agus Nasik Yahya, yang kini mengasuh yayasan Masjid, diusir dari kediamannya yang berada di kompleks masjid oleh Muhaidori.
Kepindahan Gus Lukman ke rumah lamanya di dekat Masjid Al-Ihsan, menjadi awal perubahan besar. Seluruh jamaah dan santri yang selama ini mengaji di Al-Mu’minin memilih ikut bersama Gus Lukman. Dalam waktu sepekan, masjid yang dulunya ramai menjadi kosong dan sunyi.
Foto bersama usai kesepakatan di Ruang Rapat Kantor Desa Gintangan. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Tak lama kemudian, segel bank dicabut. Muhaidori mengklaim bahwa telah melunasi pinjaman tersebut. Namun bersamaan dengan itu, ia juga membentuk takmir baru dengan alasan Masjid Al-Mu’minin “tidak terurus”.
Langkah tersebut, membuat warga kian geram. Mereka merasa masjid itu dibangun dari keringat dan swadaya masyarakat, bukan milik pribadi siapa pun.
Titik Temu Solusi
Puncaknya terjadi pada Jumat (10/10/2025). Ratusan warga meluruk Balai Desa Gintangan, menuntut agar kepengurusan masjid dikembalikan kepada Gus Lukman dan masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut, mediasi pun digelar di ruang rapat desa. Hadir berbagai pihak, Muhaidori bersama pengacaranya, Abdul Kodir, S.H., M.H., perwakilan Kemenag Banyuwangi melalui Kasi Humas Binmas, Masturi; Perwakilan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Banyuwangi, Andi Misyanto.
Selain itu, turut hadir Sekretaris Kecamatan Blimbingsari, Abdul Aziz; Kapolsek Rogojampi, Kompol Imron; Danramil Rogojampi, Kapten CBA Guntur, serta Kepala Desa Gintangan, Hardiyono, sebagai mediator.
Suasana mediasi berjalan panas. Adu argumen mewarnai ruangan. Perwakilan warga menuntut kejelasan soal status tanah, sementara pihak Muhaidori mempertahankan haknya atas sertifikat. Ketegangan meningkat, namun di tengah dialog panjang itu, titik damai akhirnya muncul.
Muhaidori, akhirnya menyatakan kesediannya untuk mewakafkan tanah Masjid Al-Mu’minin. Keputusan itu sontak membuat suasana ruang mediasi melunak. Warga yang tadinya menahan emosi mulai menghela napas lega.
“Yang penting nadzirnya nanti orang-orang yang amanah,” pesan Muhaidori, di sela-sela dialog, Jumat (10/10/2025).
Dalam kesempatan mediasi itu, Gus Lukman turut dihadirkan dalam ruangan. Suasana semakin adem setelah kedua belah pihak berjabat tangan dan berpelukan saling memaafkan.
Nadzir Masjid Al-Mu’minin yang diminta Muhaidori pun akhirnya terbentuk. Sebagai Ketua, Gus Lukman; Sekretaris, Abdul Kodir, S.H., M.H.; Bendahara, Moh. Ali Wafa, S.Pd.I., M.Pd.I.; Anggota, Sudarto dan KH Syaifudin Zuhri.
Dengan keputusan tersebut, lembar panjang konflik Masjid Al-Mu’minin mulai menemukan ujungnya.
Kepala Desa Gintangan, Hardiyono, mengaku bersyukur atas tercapainya kesepakatan damai tersebut. Ia menyebut, mediasi yang berlangsung cukup panjang itu akhirnya mampu menghadirkan solusi terbaik bagi semua pihak.
“Alhamdulillah, setelah kita berdiskusi dan membahas bersama, akhirnya kita mendapatkan titik solusi terbaik, dan Alhamdulillah semuanya bisa diterima oleh semua pihak. Jadi intinya, dari kedua belah pihak sudah menyepakati bersama,” katanya.
Hardiyono juga berharap, kesepakatan ini menjadi awal baru bagi seluruh jamaah Masjid Al-Mu’minin untuk kembali bersatu dan mempererat ukhuwah.
“Harapannya ke depan, mudah-mudahan para jamaah semuanya tetap rukun, tetap bersama-sama untuk memuliakan dan meramaikan masjid dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu santri senior Gus Lukman, Muhammad Sulfi, mengaku bersyukur atas hasil mediasi tersebut. Ia menyebut, kesepakatan damai ini menjadi angin segar bagi warga dan para santri yang selama ini menanti kejelasan status masjid.
“Alhamdulillah, kami sangat bersyukur. Selama sepekan terakhir, kegiatan ubudiah di Masjid Al-Mu’minin sempat terhenti, termasuk TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Para santri akhirnya memilih mengaji di kediaman Gus Lukman,” cetusnya.
“Tapi setelah semuanya jelas dan masjid diwakafkan, insya allah kegiatan mengaji dan ibadah bisa kembali berjalan seperti semula,” tutupnya. (*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |