https://banyuwangi.times.co.id/
Ekonomi

Akademisi: Desentralisasi Bukan Sekadar Pendelegasian Kewenangan Administratif

Jumat, 10 Oktober 2025 - 12:34
Desentralisasi Fiskal dan Etika Kemandirian Daerah Emi Hidayati, akademisi Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Kebijakan perubahan fiskal nasional kembali menempatkan relasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam sorotan publik. Setelah lebih dari dua dekade reformasi desentralisasi bergulir, Indonesia kini dihadapkan pada kenyataan baru. Yakni keterbatasan fiskal nasional mendorong pemerintah pusat melakukan konsolidasi anggaran dengan memangkas Transfer ke Daerah (TKD) pada Rancangan APBN 2026.

Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menjelaskan bahwa pemotongan TKD dilakukan untuk menertibkan berbagai praktik penyelewengan anggaran di tingkat daerah. Menurutnya, banyak pemerintah daerah yang tidak mengelola dana transfer secara optimal sehingga menimbulkan kecurigaan dan kejengahan di tingkat pusat. Dengan alasan efisiensi dan akuntabilitas, pemerintah pusat merasa perlu menata ulang skema TKD agar lebih tepat sasaran dan berorientasi pada kinerja.

Fenomena tersebut membuka kembali perdebatan mendasar mengenai makna desentralisasi fiskal. Apakah desentralisasi selama ini benar-benar memperkuat kemandirian fiskal daerah, atau justru menumbuhkan ketergantungan struktural terhadap dana pusat?.

Emi Hidayati, akademisi Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi, turut menyoroti hal tersebut. Menurutnya, dalam literatur ekonomi politik, desentralisasi dipahami bukan sekadar pendelegasian kewenangan administratif, melainkan redistribusi kekuasaan ekonomi agar pelayanan publik dapat diselenggarakan sesuai kebutuhan lokal.

Namun, ketika arus transfer dana pusat melemah sementara kapasitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum cukup kuat, maka prinsip ‘Money Should Follow Function’ kehilangan pijakannya.

“Di titik inilah penting untuk menilai kembali arah kebijakan fiskal nasional, sembari menelaah bagaimana daerah mampu berinovasi menghadapi keterbatasan tersebut,” ucap Emi Hidayati, Jumat (10/10/2025).

Desentralisasi, lanjutnya, juga menuntut kompetisi fiskal yang sehat antar daerah. Dia mengutip pemikiran Breton (1996) dan Salmon (1987), kompetisi ini dapat mendorong efisiensi pelayanan publik dan memperkuat inovasi kebijakan di tingkat lokal. Dengan kata lain, desentralisasi fiskal yang baik akan melahirkan Fiscal Discipline, mendorong transparansi, dan menciptakan keadilan distribusi antar wilayah dalam jangka panjang.

Dalam kerangka pemikiran klasik, masih Emi, Richard Musgrave (1939; 1956; 1959), menyampaikan bahwa peran pemerintah dalam ekonomi mencakup tiga fungsi utama. Yaitu alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilisasi ekonomi makro. Desentralisasi fiskal, dalam pandangan Emi, merupakan cara agar fungsi alokasi berjalan lebih efisien di tingkat pemerintahan yang lebih rendah.

Pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui kebutuhan warganya, sehingga pelayanan publik dapat diselenggarakan dengan tepat sasaran. Di sinilah keuangan publik memainkan peran penting untuk menjamin keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial.

“Namun, jika prinsip dasar ini diabaikan, maka desentralisasi fiskal dapat kehilangan maknanya. Hal inilah yang kini tampak dalam konteks pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD),” ungkapnya.

Kabupaten Banyuwangi, misalnya, mengalami penurunan alokasi sekitar Rp665 miliar dari total transfer yang sebelumnya mencapai Rp1,97 triliun. Pengurangan ini, di satu sisi, mencerminkan upaya efisiensi fiskal nasional. Tetapi di sisi lain, menurut Emi, kebijakan tersebut berpotensi melemahkan kapasitas daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, terutama di sektor-sektor strategis yang langsung bersentuhan dengan kesejahteraan masyarakat.

“Jika prinsip Money Should Follow Function benar-benar dijalankan, maka pengurangan transfer seharusnya diiringi dengan redistribusi kewenangan atau peningkatan kapasitas fiskal daerah agar keseimbangan tetap terjaga,” paparnya.

Mantan anggota DPRD Banyuwangi ini berharap, di tengah tekanan fiskal seperti ini, jangan sampai ada gejala politik yang memperlihatkan penyimpangan orientasi fungsi budgeting di tingkat lokal. Semisal para wakil rakyat yang menggerutu atas berkurangnya alokasi belanja melalui forum reses, berkurangnya anggaran kunjungan kerja, berkurangnya tunjangan-tunjangan, seolah anggaran publik merupakan hak prerogatif politik, bukan amanah konstitusional untuk kepentingan rakyat.

Dalam kerangka Musgrave, kata Emi, fungsi anggaran publik adalah Allocation, Distribution, and Stabilization—bukan Appropriation for Self-Interest. Ketika fungsi budgeting direduksi menjadi sarana patronase politik, yang terjadi bukan lagi Fiscal Decentralization melainkan Fiscal Capture, alias penguasaan sumber daya fiskal oleh elite politik lokal demi kepentingan elektoral.

Emi menambahkan, kritik James Buchanan dalam teori Public Choice sangat relevan di sini. Yakni tentang politisi cenderung bertindak sebagai Homo Economicus yang memaksimalkan kepentingan pribadi di ruang publik. Dia menilai ini adalah bentuk moral hazard politik, di mana anggaran kehilangan orientasi moralnya. Sikap demikian secara etis memprihatinkan karena mengkhianati mandat rakyat bahwa setiap rupiah APBD seharusnya kembali kepada kesejahteraan masyarakat.

Menariknya, masih Emi, di tengah tekanan fiskal dan turbulensi politik seperti ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi justru menampilkan langkah inovatif melalui pembentukan Dana Abadi Daerah (Regional Endowment Fund). Dukungan langsung Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian terhadap inisiatif ini menunjukkan pengakuan bahwa daerah perlu memiliki Buffer Zone untuk menghadapi keterbatasan fiskal. Dana abadi tersebut direncanakan bersumber dari hasil pelepasan sebagian saham Pemkab Banyuwangi di tambang emas Tumpang Pitu yang dikelola oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI). Hasil penjualan saham tidak akan langsung dihabiskan, melainkan diinvestasikan secara produktif agar nilai tambahnya menjadi sumber pembiayaan pembangunan berkelanjutan.

“Dalam perspektif Musgrave dan Oates (1993), langkah ini sejalan dengan prinsip stabilisasi dan distribusi fiskal, di mana pemerintah daerah berperan aktif mengelola sumber daya untuk menjaga kesinambungan ekonomi lokal,” tutur Emi.

“Langkah Banyuwangi mencerminkan model baru kemandirian fiscal, dari ketergantungan menuju kedaulatan ekonomi daerah. Inovasi ini menunjukkan bahwa tekanan fiskal justru dapat menjadi momentum lahirnya kebijakan kreatif dan berorientasi jangka panjang,” imbuhnya.

Namun, masih menurut Emi, keberhasilan Dana Abadi Daerah tetap bergantung pada dua hal mendasar. Yakni akuntabilitas dan transparansi. Tanpa tata kelola yang baik, dana ini bisa saja berubah menjadi instrumen politis baru atau sumber moral hazard baru. Keberhasilan Banyuwangi akan menjadi ujian apakah desentralisasi fiskal di Indonesia benar-benar menjadi instrumen pemerataan dan pembangunan manusia, atau sekadar simbol otonomi tanpa substansi.

“Pelajaran penting dari fenomena ini adalah bahwa desentralisasi fiskal bukan hanya tentang pembagian uang, tetapi tentang pembagian tanggung jawab moral dan kapasitas kelembagaan. Banyuwangi memberi teladan bahwa ketika pusat menarik diri melalui pemangkasan transfer, daerah tidak boleh terjebak dalam logika keluhan, tetapi harus berinovasi demi menjaga keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” urai Emi.

Dan Emi juga mendefinisikan bahwa esensi sejati dari desentralisasi fiscal adalah kemandirian yang bertanggung jawab, inovatif, dan berorientasi pada kemaslahatan manusia. (*)

Pewarta : Syamsul Arifin
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.