TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Tanggal 3 Juni merupakan tanggal sejarah bagi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Di tanggal ini, tepatnya Jumat Pon tahun 1994 sebuah musibah alam besar terjadi. Pada 27 tahun silam itu, tsunami setinggi 13,9 meter menyapu daratan pesisir selatan Bumi Blambangan.
Sebanyak 229 orang tercatat meninggal dunia dan puluhan korban lainnya dilaporkan hilang. Banyak cerita yang dapat dikenang dari musibah tersebut, salah satunya kisah seorang anak yang lolos dari maut lantaran menuruti nasehat seorang orang tua.
Nur Hidayat (46) warga Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi berhasil selamat lantaran firasat bapaknya Asmoro Sampir (72). Diceritakan, kala itu Nur yang masih berusia 19 tahun bersama 7 orang rekannya merencanakan untuk pergi camping akhir pekan.
Rencananya, sekawanan pemuda tersebut berangkat pada hari Jumat Pon. Tepat di mana peristiwa tsunami terjadi.
Mereka berencana akan camping selama 3 hari. Pada camping di hari pertama, yakni Jumat Pon, Nur dan kawannya akan mendatangi Pulau Merah. Kebetulan, di sana juga ada pertunjukan wayang kulit yang dalangnya cukup kondang.
Di tahun 1994 silam, minuman keras dan lintingan ganja masih marak dijual di Banyuwangi. Kedua barang haram ini menjadi salah satu barang bawaan camping bagi kelompok remaja tersebut. Rencananya mereka menggelar pesta teler di tepian pantai.
"Pagi itu (hari peristiwa tsunami) Nur pamitan sama saya. Mau berkemah di Pancer. Namun tidak saya izinkan," kata Asmoro Sampir yang juga seorang dalang veteran di Banyuwangi, Kamis (3/6/2021).
Kepada TIMES Indonesia, pria ini tidak bisa menjabarkan alasan pasti kenapa dia melarang anaknya untuk pergi. Namun, dia hanya bercerita jika larangan itu berasal dari firasatnya.
Sejak beberapa hari sebelum peristiwa tsunami, dia merasakan sebuah firasat yang tidak mengenakkan. Firasat tersebut diperkuat dengan mimpi yang dialaminya. Di dalam mimpi, dia mendapati Banyuwangi dalam kondisi kering.
Ditambah lagi, dirinya seringkali melakukan puasa sebelum melakukan ritual wayang kulit adat Jawa 'ruwatan murwakalla'. Kebiasaan tersebut memungkinkan dirinya mendapatkan firasat tatkala hal-hal buruk akan terjadi.
"Ojo le, sampean ojo budal. Bapak ora penak. Ojo takon opo alasane. Yen bapak ngomong ora, sampean kudu manut," ucap Asmoro Sampir menasehati Nur menggunakan bahasa Jawa.
Nur pun kemudian menuruti nasehat bapaknya. Dengan terpaksa dia mengundurkan diri dari rombongan yang hendak berangkat ke Pancer. Benar saja, firasat dalang veteran ini pun terjawab.
Esok harinya pada hari Sabtu tersiar kabar jika telah terjadi musibah tsunami di pantai selatan Banyuwangi. Nur yang menuruti nasehat bapaknya pun selamat. Sedangkan 5 dari 7 orang temannya yang berangkat camping di Pancer meninggal tersapu gelombang tsunami.
"Saya dan adik-adik itu diajarkan bakti sama bapak. Kalau bapak ngomong enggak ya enggak. Setelah peristiwa tsunami itu bapak melarang saya pakai warna merah, sampai sekarang ya saya lakukan," kata Nur.
"Alhamdulillah sampai saat ini empat anak-anak laki-laki bapak terhindar dari petaka. Meskipun bandel tapi kami semua patuh dan menjunjung tinggi nasehat orang tua," imbuhnya.
Wayangan Lakon Rahwana Jadi Ratu
Peristiwa tsunami 1994 tersebut juga bersamaan dengan pagelaran wayang kulit di kawasan Pulau Merah. Kala itu, ada sebuah hajatan pernikahan yang mempertontonkan kesenian sebagai panggung hiburannya. Kebetulan lakon yang dibawakan yakni Rahwana Jadi Ratu.
Dalam lakon tersebut, digambarkan seorang raksasa angkara murka menjadi seorang ratu dengan jutaan pasukannya. Selama hidup, Rahwana telah menyebarkan kebencian dan malapetaka bagi umat manusia. Saat asik menonton itulah, seluruh penonton dan seisinya disapu oleh gelombang tsunami.
"Kalau nggak salah pas waktu ada lakon 'Rahwono dadi ratu'. Tiba-tiba saja air laut langsung seperti tumpah sebanyak tiga kali. Saya menyelamatkan diri naik pohon kelapa," kata Nasikin, salah satu saksi hidup lainnya.
Setelah gelombang menyapu daratan pertama kali, tak berselang lama kemudian disusul oleh gelombang selanjutnya. Seluruh bangunan rata dengan tanah. Puing-puing berserakan. Dari atas pohon kelapa, Nasikin menyaksikan air laut menghanyutkan tubuh-tubuh manusia.
"Orang-orang teriak. Allahuakbar - Allahuakbar. Tolong - tolong. Semuanya teriak, setelah gelombang kedua datang sudah tidak ada lagi teriakan," katanya.
Kurang lebih selama 30 menit dia bertahan di atas pohon. Dirasa aman, pria ini pun bergegas turun mencari pertolongan dan pulang ke rumahnya. Betapa kagetnya, dia mendapati rumah dan kampungnya sudah rata dengan tanah.
"Saya cepat-cepat pulang, lari sekuat tenaga. Ya Allah, kampung saya sudah rata dengan tanah. Terus di mana anak istri saya," katanya.
Dalam kondisi psikologis yang terguncang hebat, Nasikin memacu kakinya untuk menuju ke tempat yang lebih aman. Hingga akhirnya dia sampai di sebuah Masjid. Di situlah tangisannya pecah saat melihat istrinya memeluk anak kesayangannya.
"Saya lari ke Masjid, dan ketemu anak istri selamat. Ya Allah terimakasih sudah menyelamatkan keluarga saya, saya langsung bersembah sujud waktu itu," kenangnya.
Sebagaimana diketahui, masjid tempat berlindung warga Pancer, hingga kini masih berdiri. Tak sedikitpun ada kerusakan pada saat tsunami menerjang. Padahal, permukiman di sekitarnya rusak total.
Musibah tsunami ini juga menjadi perhatian pemerintahan kala itu. Mendiang Presiden Soeharto dan Harmoko Menteri Penerangan, melakukan kunjungan ke lokasi bencana tsunami Banyuwangi dengan membawa bantuan.
Dari informasi yang beredar, dalam kunjungan tersebut mendiang Soeharto sempat mengadopsi 5 anak korban tsunami 1994. Keseluruh anak tersebut merupakan anak nelayan korban tsunami Banyuwangi yang kehilangan seluruh keluarganya.
Dengan peristiwa tsunami di Kabupaten Banyuwangi pada 1994 tersebut, tentunya memberikan edukasi bagi warga pesisir selatan Bumi Blambangan. Selain dibangun monumen, masyarakat di lokasi juga menjadikan Jumat Pon sebagai hari berdoa bersama sekaligus hari libur bagi nelayan setempat. (*)
Pewarta | : Agung Sedana |
Editor | : Ronny Wicaksono |