TIMES BANYUWANGI, YOGYAKARTA – Program peremajaan kelapa sawit atau replanting menjadi fokus riset dua mahasiswa Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM).
Mereka menggali dampak sosial dari program ini terhadap kehidupan masyarakat di Kalimantan Barat, khususnya di tengah upaya memperbarui tanaman sawit yang telah melewati masa produktif.
Dua peneliti muda tersebut, Ana Choirina Afdila dan Muhammad Fahmi Rafsanjani, menjalankan penelitian etnografi selama tiga bulan di Desa Pampang Dua, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau.
Dalam riset ini, mereka juga bekerja sama dengan Tobias Graf dari University of Zurich, Swiss.
Replanting sawit sendiri merupakan upaya mengganti tanaman kelapa sawit tua, yang rata-rata berusia di atas 25 tahun, dengan tanaman baru yang lebih produktif dalam menghasilkan crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO).
Program ini dijalankan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan ditujukan kepada petani kecil. Namun dalam praktiknya, replanting kerap menimbulkan tantangan sosial dan ekonomi di lapangan.
“Penelitian kami menyoroti berbagai aspek, mulai dari beban biaya replanting, kebutuhan tenaga kerja, hingga bagaimana petani bertahan secara ekonomi selama masa transisi,” ujar Ana Choirina, Senin (2/6/2025).
Salah satu persoalan utama yang ditemukan adalah keterbatasan akses petani terhadap lahan dan pendanaan. Di sisi lain, program ini juga menciptakan ketidakpastian pendapatan karena lahan tidak bisa langsung menghasilkan selama periode tanam ulang.
Muhammad Fahmi menambahkan, mereka juga menelusuri bagaimana petani memandang kelapa sawit sebagai komoditas masa depan. “Kami ingin memahami apakah mereka tetap melihat sawit sebagai tumpuan utama, atau mulai memikirkan alternatif sumber ekonomi lainnya,” jelasnya.
Dosen pembimbing riset, Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, menjelaskan bahwa pendekatan observasi partisipatif yang digunakan memungkinkan mahasiswa menyatu dalam kehidupan masyarakat setempat.
“Mereka tidak hanya mengamati, tetapi hidup bersama warga, belajar memahami nilai sosial, pola pikir, serta relasi sosial yang terbentuk di desa,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya riset lapangan semacam ini untuk mengasah kepekaan mahasiswa terhadap realitas sosial dan budaya. Menurutnya, temuan lapangan ini memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi dalam perumusan kebijakan publik, khususnya kebijakan terkait perkebunan sawit yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Bagi Ana dan Fahmi, pengalaman ini menjadi momen penting dalam perjalanan akademik mereka. Mereka menyadari bahwa kajian sosial terhadap replanting sawit di Indonesia masih minim, meski dampaknya sangat nyata di masyarakat.
“Kami ingin menunjukkan bahwa replanting bukan sekadar soal teknis pertanian, tetapi terkait erat dengan isu sosial, ekonomi, hingga lingkungan. Kolaborasi kami dengan Tobias juga memberi dimensi global dalam melihat kompleksitas persoalan ini,” paparnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mahasiswa UGM Teliti Dampak Sosial Program Replanting Sawit di Kalbar, Ini Hasilnya
Pewarta | : A. Tulung |
Editor | : Ronny Wicaksono |