TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – Demokrasi yaitu sebuah sistem pemerintahan di mana warga negara dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan dan kontrol atas sebuah keputusan. Demokrasi di Indonesia terefleksikan dalam pelaksanaan pemilu, hal itu yang menjadi instrument untuk menjaga kedaulatan rakyat pasca reformasi 1998.
Di Indonesia Pemilu dilaksanakan dengan dua mekanisme, yakni sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka. Pada pemilu tahun 2004 melalui UU Nomor 12 Tahun 2003 pemilu dilakukan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka namun relatif tertutup (relatively closed open list system).
Sistem proporsional terbuka baru kemudian benar-benar diterapkan pada pemilu tahun 2009, diawali dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008.4. kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, pada Pasal 168 Ayat (2): “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.
Merespon keputusan proporsional terbuka, Guru Besar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UNAIR Prof Ramlan Surbakti menilai sistem proporsional terbuka bagi pemilih calon anggota legislatif DPR dan DPRD yang diterapkan sejak Pemilu 2009 memiliki tiga evaluasi. Pertama, evaluasi tentang memperkuat partai sebagai institusi demokrasi, tetapi yang terjadi partai dikelola secara oligarki atau personalistik.
Kedua, evaluasi menyederhanakan partai politik. Menurutnya yang dikehendaki sistem proporsional yakni multipartai sederhana, tetapi yang terjadi tetap sistem multipartai yakni 9 partai hasil Pemilu 2009; 10 partai hasil Pemilu 2014; dan 9 partai hasil pemilu 2019. Ketiga, evaluasi menciptakan sistem perwakilan politik yang representative.
Pertanyaan paling fundamental ialah, mengapa tidak menggunakan sistem proporsional tertutup ? Pada sistem proporsional tertutup mengandung banyak kekurangan dan kelemahan, yang akhirnya kemudian dikoreksi melalui sistem proporsional terbuka. Kelemahan tersebut sangat jelas dalam beberapa aspek fundamental, antara lain, kedaulatan partai mereduksi kedaulatan rakyat, hubungan anggota legislatif dan para pemilih memiliki jarak yang lebar, pemilih tidak punya peluang untuk menentukan wakil yang dikehendakinya, kader parpol cenderung mengakar ke atas bukan ke bawah, demokrasi menjadi elitis karena didominasi oleh segelintir oligarki, dan masih banyak lagi.
Berbeda dengan proporsional tertutup, dengan sistem proporsional terbuka pemilih tidak lagi seperti memilih “kucing dalam karung”, karena pemilih tahu secara personal dan track record, Sehingga ketika nanti yang akan terpilih memiliki hubungan politik yang bertanggungjawab antara pemilih dan pejabat yang mereka pilih. Selain itu akan ada persaingan antar kandidat dalam satu partai, persaingan kandidat antar partai, dan persaingan kandidat antar daerah pemilihan untuk kursi terbatas di parlemen, yang memungkinkan kepentingan finansial masing-masing kandidat untuk memenangkan pemilihan oleh dan untuk rakyat ini.
Evaluasi HAM Bagi Penyelenggara
Pada tahun 2019 sistem proporsional terbuka dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensi dari pemilu tahun 2019 yang telah kita lewati. Pemilu 2019 sendiri memiliki tragedi yang cukup besar perihal hak untuk hidup. Hampir 527 jiwa meninggal dunia akibat kelelahan dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara dengan jam kerja sekitar 16-24 jam.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberikan mandat oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penyelenggara Pemilu tidak saja memiliki kewajiban utama melindungi hak pilih rakyat, melainkan juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak hidup segenap jajaran penyelenggara yang berada dibawahnya hingga petugas KPPS dan tenaga pengamanan TPS sekalipun. Selain itu, pada pemilu 2019 Selain itu, anggaran yang digunakan untuk pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbilang cukup banyak, sekitar Rp. 722.912.000.000.
Pemilu 2024 nanti, masih menunggu kepastian hukum dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi perihal sistem proorsional mana yang akan digunakan. UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Pasal 168 saat ini sedang di uji di MK, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa peserta pemilu adalah partai politik yang berarti perintah konstitusi untuk proporsional tertutup harus menjadi sistem pemilu di 2024.
Penulis memiliki persepsi untuk mencegah terjadinya tragedi pada tahun 2019, pemerintah harus memperhitungkan kembali untuk merubah sistem dari proporsional terbuka kembali ke sistem proporsional tertutup. Hal itu dikarenakan dengan sistem proporsional tertutup memudahkan negara secara petunjuk teknis (juknis) pelaksaanaan pemilu, mulai dari jam kerja dari penyelenggara dapat berkurang sehingga pelaksaan pemilu berkesesuaian dengan HAM yang tetap terpenuhi, serta tidak terlalu memakan biaya yang besar. Sistem proporsional daftar tertutup berkontribusi pada efisiensi pengadaan surat suara dengan selisih (hemat) sekitar Rp. 407.222.250.000-.
Selain itu dalam sistem proporsional terbuka juga memiliki mahar politik yang tinggi diperlukan untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam pemilu. Sehingga, memungkinkan semakin meningkatnya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia khususnya lembaga legislatif. Setelah mampu memperoleh posisi dalam lembaga perwakilan rakyat, maka para legislatif akan berniat untuk mengembalikan cost politik yang sudah mereka keluarkan untuk memastikan kemenangan.
Persoalan ini akhirnya digunakan sebagai bisnis tambahan yang mengakibatkan menurunnya kualitas dan kinerja lembaga perwakilan rakyat. Anggota legislatif tidak lagi fokus bertindak, sampai bahkan tidak menghiraukan peranannya sebagai wakil rakyat. Namun lebih megutamakan diri sebagai wakil dari kepentingan kelompok, golongan, bahkan kepentingan pribadinya semata.
Tingginya cost politik yang harus dikeluarkan oleh partai dan calon legislative, serta anggaran negara yang dikeluarkan untuk pemilu dengan menggunakan sistem proporsional terbuka, maka peluang untuk adanya/sistem pemilu yang baru pada 2024 bisa saja ada, yakni proporsional tertutup yang menawarkan murahnya biaya politik, dan terminimalisirnya money politic. Meskipun sistem proporsional tertutup bisa menjadi solusi untuk kondisi politik dan demokrasi Indonesia saat ini untuk pemilu, akan tetapi oligarki bisa bermain lewat sistem ini, dan partai akan lebih mendominasi serta kedaulatan rakyat bisa terancam.
Walaupun memiliki kelemahan, masih ada upaya yang bisa dilakukan pemerintah dan upaya ini bisa dimaksimalkan dalam perbaikan sistem proporsional tertutup, yakni sistem proporsional tertutup bisa dibarengi dengan primary election atau konvensi di internal partai untuk menyaring caleg yang kredibel sembari mengurangi oligarki dan praktik suap di tingkat elit Indonesia pernah menerapkan dua system proporsional dalam pemilu, yaitu proporsional terbuka dan proporsional tertutup.
Pemilu Indonesia tahun 2024 harus dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi dari pemilu beberapa periode ke belakang. Mulai dari perintah konstitusi, menjaga demokrasi, kecurangan, biaya politik, anggaran pemilu dan hak asasi manusia. Dengan sistem yang ada sekarang ditakutkan hanya akan membuat demokrasi dan kedaulatan rakyat serta kecerdasan politikmasyarakat akan semakin memburuk, jika benar menjadi keputusan final, maka proporsional terbuka harus diperbaiki.
Sebagai saran, ada baiknya pembenahan sistem politik di Indonesia dengan menghilangkan ruang bagi politik uang, yaitu dengan cara mempertimbangkan kembalinya kepada sistem proporsional daftar partai. Hanya saja, penerapan sistem ini mesti diikuti dengan sistem seleksi calon di internal partai politik secara demokrasi, penataan data keanggotaan partai dan perlunya syarat minimal keanggotaan calon sebelum dicalonkan.
Kemudian perlunya memperkuat kelembagaan partai politik, karena dengan hal tersebut dapat menambah besar peran partai politik, sehingga secara kelembagaan, partai politik menjadi lebih berdaya dan demokratis, serta memiliki peran penting dalam hal mengontrol setiap tindakan kandidat yang mereka usung.
***
*) Oleh: Rivandy Azhari Ali Harahap, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Peneliti di Pegiat Pendidikan Untuk Indonesia (PUNDI) & Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |