TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki peran signifikan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peran tersebut telah dibuktikan secara nyata mulai masa kelahirannya hingga era milenial ini.
Lahirnya sebuah pemikiran, ide atau gagasan, apalagi organisasi, tentu tidak lepas dari konteks sosio-historis yang melingkupinya. Demikian pula dengan kelahiran organisasi NU. Dalam konteks nasional, di era kelahirannya, NU membawa misi berupaya untuk melestarikan warisan pemikiran (turath), ide dan gagasan para ulama klasik (salaf al-salih). Di samping itu, peran strategis NU juga dimainkan dalam rangka mengantisipasi paham yang kurang apresiatif dan adaptif terhadap nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat (local wisdom) setempat.
Di era pra-kemerdekaan, peran strategis NU menurut Abdurrahman Wahid (2006) dalam Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Negara Masyarakat Demokrasi terlihat misalnya pada tahun 1935 dalam muktamar NU ke-35 di Banjarmasin. Pada waktu itu, NU dihadapkan pada situasi dan kondisi yang menuntut jawaban cerdas dan bernas dari segenap elemen bangsa. Situasi yang dimaksud adalah terkait menjaga keutuhan eksistensi negara Indonesia—waktu itu belum merdeka—yang dijajah oleh negara kafir apabila diserang oleh musuh dari luar.
Realitas itulah yang dihadapi oleh NU yang pada waktu itu dipimpin oleh Rais Akbar Hadlaratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari dan para pendiri (mu’asis) NU lainnya. Jawaban tegas dan penuh perhitungan diberikan oleh organisasi yang konon dicap sebagai organisasinya 'kaum sarungan' yang kolot, tradisional dan anti terhadap modernitas itu. Negara 'wajib' dipertahankan meskipun dalam kekuasaan negara kafir, dengan alasan umat Islam—pada waktu itu—diberi 'ruang kebebasan' dalam menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Peran strategis NU masih berlanjut pasca kemerdekaan. Salah satu 'contoh terang' yang dimainkan NU pada masa itu adalah penerimaannya dengan legowo atas bentuk negara kesatuan, meskipun pada awal proses pembentukannya terdapat intrik dan ketegangan di sana sini.
Perbedaan pendapat dalam merumuskan dasar negara sangat tajam. Menurut Miftahuddin dalam bukunya KH. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, para ilmuwan politik menyederhanakan poros perbedaan pendapat itu dalam dua kelompok besar yakni 'nasionalis Islam ' dan nasionalis sekuler'. Nasionalis Islam digunakan untuk menyebut tokoh-tokoh Islam yang mempunyai aspirasi agar Islam dijadikan sebagai dasar negara (Islamic state). Tokoh-tokoh Islam dari berbagai organisasi, termasuk K.H. Wahid Hasyim, berada dalam kelompok ini.
Sementara itu 'nasionalis sekuler' digunakan untuk menyebut tokoh-tokoh yang sebagian juga beragama Islam seperti Soekarno, tapi tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara. Mereka menginginkan negara kebangsaan (nation state) yang tidak didasarkan pada satu agama tertentu. Dari sinilah kemudian Bung Karno mencetuskan gagasan tentang Pancasila.
Perdebatan mengenai bentuk negara yang dirasa relevan untuk Indonesia ternyata tidak berhenti di situ. Pada era awal Orde Baru menurut Masykuri Abdillah (2015) dalam bukunya Islam dan Demokrasi Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993 perdebatan tersebut mengemuka lagi dengan adanya desakan dari berbagai pihak yang menginginkan diberlakukannya 'Piagam Jakarta'. Dalam Piagam Jakarta disebutkan 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'.
Piagam Jakarta dianggap sebagai 'titik temu' antara dua golongan besar tersebut—nasionalis Islam dan nasionalis sekuler—yang memiliki aspirasi berbeda tentang dasar negara. Piagam Jakarta merupakan salah satu isu strategis untuk menerapkan diberlakukannya syariat Islam di NKRI. Ternyata aspirasi tersebut masih dipersoalkan oleh tokoh-tokoh dari Indonesia Timur yang non-Muslim karena ada agama yang secara khusus disebutkan dalam pembukaan konstitusi.
Menyikapi hal tersebut, dengan jiwa besar, tokoh-tokoh Muslim merelakan dan mencoret tujuh kata Piagam Jakarta dan diubah rumusannya menjadi: 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Apakah dengan demikian kata 'Ketuhanan Yang Maha Esa' hanya relevan bagi umat Islam? Tentu saja tidak. Kata ini ternyata mampu menampung segala jenis paham Ketuhanan yang sudah berkembang di Indonesia.
Era Orde Baru dikenal sebagai era 'hegemoni kekuasaan'. Ini dibuktikan dengan pengerucutan partai politik menjadi hanya tiga partai saja yang 'direstui' yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan tentu saja partai pemerintah, Golkar (Golongan Karya). Partai-partai Islam-pun dilebur dan berfusi pada satu partai yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara kalangan nasionalis-abangan dimasukkan dalam keluarga Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Lantas di mana peran strategis NU di kala itu?
Menurut Nur Khalik Ridwan (2010) dalam NU dan Bangsa Adalah daerah ujung timur pulau Jawa-lah yang menjadi 'saksi sejarah' peran strategis yang dimainkan oleh NU. Pada tahun 1984 digelar Muktamar NU ke 27 di Situbondo, kota yang mayoritas dihuni oleh warga Nahdliyyin itu. Dalam Muktamar tersebut ditetapkan kembalinya NU pada Khittah 1926, yang berarti NU secara organisatoris menarik diri dari dunia politik praktis dan kembali menjalankan peran strategisnya sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengurusi masalah agama, dakwah dan sosial.
Dalam ranah politik atau syuhudan siyasiyan menurut K.H. Said Aqil Siroj dalam bukunya Tasawuf Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (2007) peran strategis lain yang tak kalah pentingnya adalah penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam berbangsa dan bernegara. Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal kenegaraan ini dipelopori oleh para Kiai sepuh kharismatik seperti K.H. Ahmad Shiddiq, K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dan generasi muda NU yang dimotori oleh K.H. Abdurrahman Wahid, Masdar F. Mas’udi dan lain-lain.
Pancasila dalam pandangan para ulama NU diyakini bisa menjadi alat perekat yang dapat menyatukan segenap elemen anak bangsa yang memang berbeda-beda baik dari segi suku, etnis, bahasa, adat istiadat, kebudayaan dan lain-lain. Di samping itu dan tak kalah penting menurut Syaiful Arif (2018) dalam bukunya Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi Meneguhkan Nilai Keindonesiaan adalah bahwa Pancasila dijiwai oleh semangat untuk menegaskan paham 'monoteisme' atau yang dalam Islam disebut dengan semangat 'ketauhidan'.
Pada titik ini, peran NU masih sangat konsisten dan sejalan dengan alur pikir para pendiri NU (mu’asis) di era sebelum kemerdekaan yang dengan gigihnya mempertahankan negara, meskipun dalam konteks politik (siyasah), labelling-nya bukan negara Islam. Hal ini sungguh merupakan sebuah sikap kearifan yang ditunjukkan oleh para pemimpin kita yang sangat jauh dari ego primordial, sektoral dan kepentingan sesaat.
Dalam konteks ini mereka berpegang pada kaidah fiqih (al-qawaid al-fiqhiyyah) 'ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh'. Maksudnya adalah sesuatu yang tidak bisa dicapai secara keseluruhan (negara Islam), tidak boleh ditinggalkan keseluruhannya (negara kebangsaan)'.
Memasuki era reformasi, ketika kran kebebasan dibuka seluas-luasnya, peran dan posisi dalam menjaga dan mengawal keutuhan NKRI semakin berat dan besar. Berat, dikarenakan NU dihadapkan pada paham dan gerakan radikalisme yang menebar teror dimana-mana dengan mengatasnamakan Islam.
NU harus aktif mengupayakan deradikalisasi Nusantara dari ormas-ormas keagamaan yang tidak sreg atau galau dengan ideologi Pancasila. Besar, karena NU harus mewartakan Islam yang ramah dan bukan Islam yang 'suka' marah-marah. Islam yang mengayomi, bukan melaknati. Islam yang menghargai, bukan memaki. Sebuah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Peran strategis NU harus dimaksimalkan untuk menyatukan kekuatan menjaga dan merawat keutuhan NKRI dari pihak-pihak yang ingin merongrongnya. Dan hal ini telah dibuktikan secara nyata—sebagaimana alur sejarah di atas—oleh organisasi yang dikenal religius-nasionalis tersebut.
Dengan nada agak guyonan K.H. Said Aqil Siradj sering mengatakan bahwa tegaknya Indonesia tergantung pada PBNU. PBNU yang dimaksud adalah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dan kini, Satu Abad NU menjaga keutuhan NKRI masih terbukti. Satu Abad NU mengabdi, semoga membawa keberkahan bagi bangsa dan negara ini.
***
*) Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |