https://banyuwangi.times.co.id/
Opini

Guru Penjaga Peradaban

Minggu, 23 November 2025 - 13:54
Guru Penjaga Peradaban Moh Nur Fauzi, Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu, Universitas KH. Mukhtar Syafaat Banyuwangi, Editor in Chief Jurnal Darussalam dan Penulis Opini-Esai.

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Setiap tahun, peringatan Hari Guru hadir dengan semarak yang penuh apresiasi. Panggung upacara di sekolah, sambutan pejabat, dan berbagai ucapan yang menghormati peran guru seolah menjadi wujud cinta bangsa terhadap mereka yang disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Namun di balik kemeriahan itu.

Apakah penghormatan ini benar-benar terwujud dalam realitas hidup para guru? Apakah mereka telah mendapatkan keadilan yang layak, perlindungan hukum yang jelas, serta ruang filosofis yang memadai untuk menjalankan peran mulianya? Atau jangan-jangan, Hari Guru hanya menjadi ritual tahunan yang menutupi ketidakberesan mendasar dalam sistem pendidikan kita?

Dalam perspektif fiqh, guru menempati posisi yang sangat istimewa. Tradisi keilmuan Islam menempatkan guru sebagai waratsatul anbiya’, pewaris tugas kenabian yang mengemban amanah menjaga dan mentransmisikan ilmu. 

Mengajar bukan hanya pekerjaan, tetapi ibadah yang menyentuh ranah moral-spiritual. Namun fiqh tidak berhenti pada pujian, ia menuntut keadilan sebagai fondasi perlindungan terhadap guru. Prinsip keadilan menjadi ukuran apakah masyarakat dan negara telah menempatkan guru secara layak. 

Di tengah banyaknya guru honorer yang bekerja puluhan tahun dengan gaji yang tidak sebanding, penilaian fiqh jelas: ada ketidakadilan struktural yang harus diperbaiki. Dalam tradisi hukum Islam, pemenuhan hak adalah bagian dari maqasid syariah. 

Guru yang mengabdi pada hifz al-‘aql penjagaan akal manusia pun berhak atas hifz al-nafs, keselamatan dan kelayakan hidup. Maka Hari Guru semestinya menjadi momentum moral untuk menuntut keadilan bagi para guru, bukan sekadar momentum seremonial.

Jika fiqh berbicara tentang martabat, maka hukum positif memberi kerangka perlindungan melalui aturan yang berlaku di Indonesia. Undang-undang telah menegaskan bahwa guru adalah tenaga profesional, dilindungi oleh hak atas penghasilan layak, jaminan sosial, rasa aman dalam mengajar, serta ruang untuk mengembangkan kompetensi.

Secara normatif, kerangka itu tampak ideal. Namun realitas lapangan menunjukkan jurang yang lebar antara norma dan implementasi. Proses sertifikasi yang seharusnya meningkatkan profesionalitas justru menjadi beban administratif. Guru honorer di banyak daerah masih menerima gaji di bawah upah minimum. 

Perlindungan hukum terkadang belum memadai, sehingga guru bisa terseret persoalan hukum ketika sekadar menegakkan disiplin di kelas. Tata kelola rekrutmen guru juga kerap beririsan dengan kepentingan politik lokal, membuat profesi guru terjebak dalam pusaran birokrasi yang jauh dari semangat pendidikan.

Hukum positif seharusnya menjadi benteng perlindungan, bukan sekadar teks di atas kertas. Negara tidak cukup memberikan undang-undang; ia harus menjamin implementasinya hingga ke tingkat paling bawah. 

Hari Guru seharusnya menjadi saat untuk mengevaluasi apakah perlindungan hukum yang dijanjikan benar-benar dirasakan oleh guru di ruang-ruang kelas, bukan hanya di ruang rapat kementerian.

Di sisi lain, perspektif filosofis menghadirkan pemahaman yang lebih dalam tentang makna menjadi guru. Sejak era Yunani Kuno, para filsuf memandang guru sebagai pembentuk manusia, bukan sekadar pengajar pengetahuan. 

Aristoteles menempatkan pendidikan sebagai jalan menuju pembentukan karakter, sementara filsuf modern seperti Gadamer menekankan pentingnya dialog dalam proses memahami dunia. 

Dalam kerangka hermeneutika Gadamer, mengajar adalah perjumpaan antara dua horizon: horizon guru dan horizon murid. Pertemuan itu hanya dapat terjadi jika pendidikan memberi ruang kebebasan berpikir, interaksi manusiawi, dan proses penafsiran bersama.

Namun dalam sistem pendidikan kita yang semakin teknokratik, relasi dialogis itu mulai tergerus. Guru sering kali disibukkan oleh beban administrasi: laporan harian, evaluasi digital, pengisian platform daring, dan tumpukan formulir yang seakan tidak ada habisnya. Banyak waktu yang seharusnya digunakan untuk berdialog dengan murid justru tersita oleh tuntutan birokrasi. 

Pada titik ini, pendidikan kehilangan inti filosofisnya. Guru tidak lagi diperlakukan sebagai agen pembentuk manusia, tetapi sebagai operator kebijakan. Hal ini berbahaya, karena masa depan bangsa dibentuk oleh kualitas relasi manusiawi antara guru dan murid, bukan oleh angka-angka penilaian atau dokumen yang dipenuhi demi memenuhi standar administratif.

Filsafat mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah proses kemanusiaan. Guru adalah aktor utama yang menjaga agar proses itu tetap bernilai. Jika guru sulit menjalankan peran filosofis ini karena tekanan struktural, berarti pendidikan kita sedang berada dalam krisis makna. Hari Guru adalah waktu untuk menyadari hal itu secara jernih.

Ketiga pendekatan fiqh, hukum positif, dan filsafat sesungguhnya saling melengkapi. Fiqh menuntut keadilan moral, hukum positif menyediakan kerangka legal, sementara filsafat memberi arah makna dan tujuan. 

Ketika ketiganya berjalan seimbang, maka profesi guru berada pada posisi yang terhormat secara utuh. Namun ketika salah satu pincang, maka profesi guru rentan mengalami degradasi martabat. Karena itu, memperbaiki kondisi guru memerlukan sinergi antara moralitas, legalitas, dan makna filosofis pendidikan.

Hari Guru bukan hanya perayaan, tetapi juga ujian moral. Apakah bangsa ini benar-benar menghormati guru? Jika penghormatan masih lebih banyak berupa ucapan daripada kebijakan, berarti kita belum sungguh-sungguh memuliakan guru. 

Jika undang-undang masih belum diimplementasikan sepenuhnya, berarti negara belum memberi perlindungan yang layak. Jika filosofi pendidikan masih kalah oleh tuntutan teknokratis, berarti kita telah mengorbankan masa depan generasi.

Untuk itu, sejumlah langkah perlu segera dilakukan. Kesejahteraan guru honorer harus menjadi prioritas nasional, bukan wacana musiman. Beban administrasi perlu dipangkas agar guru dapat kembali mengajar secara humanistik. 

Perlindungan hukum bagi guru harus diperkuat melalui regulasi dan pendampingan. Dan yang terpenting, pendidikan harus dikembalikan pada orientasi filosofisnya: membentuk manusia, bukan sekadar menyesuaikan diri pada angka atau sistem.

Menghormati guru tidak cukup dengan tepuk tangan dan karangan bunga. Guru menghormati kita dengan pengetahuan; kita harus menghormati mereka dengan keadilan. Itulah makna sejati Hari Guru. 

Tanpa keadilan, perlindungan hukum, dan ruang filosofis, perayaan ini hanya menjadi ritual kosong. Tetapi dengan komitmen perubahan, Hari Guru dapat menjadi titik balik menuju pendidikan yang lebih beradab, bermartabat, dan berorientasi masa depan. (*)

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu, Universitas KH. Mukhtar Syafaat Banyuwangi, Editor in Chief Jurnal Darussalam dan Penulis Opini-Esai.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.