TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Rentetan bencana alam yang terus berulang di berbagai wilayah Indonesia kembali memantik refleksi mendalam. Banjir bandang, tanah longsor, hingga cuaca ekstrem bukan hanya meninggalkan jejak kerusakan fisik dan korban jiwa, tapi juga memunculkan pertanyaan mendasar tentang cara manusia memahami alam dan memanfaatkan ilmu pengetahuan.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Zaimuddin, mahasiswa Program Doktor (S3) Studi Islam Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hadis STIQ Walisongo Situbondo. Menurutnya, selama ini bencana alam kerap dipahami semata sebagai persoalan teknis dan ilmiah.
“Bencana dijelaskan melalui peta geologi, data curah hujan, perubahan iklim, hingga statistik kebencanaan. Semua itu penting dan tidak bisa diabaikan,” ujar Zaimuddin, Sabtu, (20/12/2025).
Namun dia menegaskan, pengalaman berulang menunjukkan bahwa pengetahuan teknis saja tidak cukup untuk mencegah bencana. Zaimuddin menilai, manusia sebenarnya sudah mengetahui wilayah rawan banjir dan longsor. Akan tetapi, eksploitasi lingkungan, alih fungsi hutan, serta pembangunan tanpa perhitungan ekologis tetap berlangsung.
“Ini menandakan bahwa masalah utamanya bukan kekurangan ilmu, melainkan krisis cara menggunakan dan mengarahkan ilmu itu sendiri,” katanya.
Zaimuddin menjelaskan, dalam tradisi pemikiran modern Barat, ilmu pengetahuan sering diposisikan sebagai alat untuk menguasai alam. Ia mengutip pemikiran Francis Bacon yang terkenal dengan ungkapan knowledge is power. Ilmu, kata dia, kemudian dipahami sebatas sarana kontrol dan efisiensi.
“Masalah muncul ketika ilmu hanya dipandang sebagai alat, sementara dimensi etika, akhlak, dan tanggung jawab diabaikan. Akibatnya, kemajuan ilmu justru berjalan beriringan dengan kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Berbeda dengan itu, Zaimuddin menuturkan bahwa epistemologi Islam menawarkan cara pandang yang lebih utuh. Islam tidak menolak sains, tetapi menempatkannya dalam kerangka nilai dan orientasi moral yang jelas. Alam dipahami sebagai amanah dari Sang Pencipta, bukan objek eksploitasi tanpa batas.
“Manusia dalam Islam adalah khalifah, penjaga keseimbangan dan kelestarian bumi, bukan penguasa mutlak atasnya,” jelasnya.
Dia menguatkan pandangannya dengan mengutip hadis Rasulullah SAW tentang cabang-cabang iman, diantaranya menyingkirkan gangguan dari jalan. Hadis tersebut, menurut Zaimuddin, menegaskan bahwa iman tidak berhenti pada keyakinan batin, tetapi harus terwujud dalam tindakan nyata yang menjaga keselamatan dan kenyamanan ruang hidup bersama.
“Eksploitasi lingkungan, polusi, pembiaran sampah, atau pembangunan yang mengabaikan dampak ekologis jelas bertentangan dengan spirit iman itu sendiri,” katanya.
Pandangan ini, lanjut Zaimuddin, juga sejalan dengan pemikiran Syekh Ali Jum‘ah, mantan Mufti Besar Mesir, yang menyebut tiga tujuan utama penciptaan manusia: beribadah kepada Allah, menyucikan jiwa, dan memakmurkan bumi. Memakmurkan bumi (‘imarat al-ardh) meniscayakan relasi etis antara manusia, ilmu, dan alam.
“Tidak mungkin bumi dimakmurkan jika ilmu hanya dipakai untuk mengejar keuntungan jangka pendek,” tegasnya.
Zaimuddin juga mengingatkan peringatan ulama klasik Al-Ghazali yang menilai ilmu bukan tujuan akhir, melainkan sarana menghadirkan kemaslahatan. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang kehilangan arah moral justru berpotensi melahirkan kerusakan.
Kritik serupa, menurutnya, juga disuarakan oleh pemikir Muslim kontemporer Syed Muhammad Naquib al-Attas melalui konsep the loss of adab, yakni hilangnya tata nilai dalam memahami dan memanfaatkan ilmu.
Bahkan, pemikir Barat seperti Jürgen Habermas turut mengingatkan bahaya rasionalitas instrumental yang hanya berfokus pada apa yang bisa dilakukan, bukan pada apa yang seharusnya dilakukan.
“Dalam konteks kebencanaan, pola pikir ini membuat manusia sibuk menangani dampak, tetapi lalai pada pencegahan dan keadilan ekologis,” ujar Zaimuddin.
Dia menutup pandangannya dengan menyatakan bahwa bencana alam sejatinya adalah cermin cara manusia mengetahui dan bertindak. Kemajuan sains dan teknologi, kata dia, tidak otomatis melahirkan kebijaksanaan.
“Barangkali yang paling dibutuhkan hari ini bukan hanya teknologi yang semakin canggih, tetapi cara memahami ilmu yang lebih berakhlak ilmu yang menjaga kehidupan, memuliakan alam, dan mengingatkan manusia pada tujuan penciptaannya,” kata Ketua Program Studi Ilmu Hadis STIQ Walisongo Situbondo, Zaimuddin. (*)
| Pewarta | : Syamsul Arifin |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |