TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Akhir-akhir ini dunia Pendidikan pesantren menjadi sorotan dalam negeri ini. bukan sorotan yang berkonotasi positif, namun sebaliknya. Banyak pemberitaan yang terkesan dilebih-lebihkan dari sebuah Lembaga Pendidikan tertua di Indonesia ini. Seolah pesantren merupakan “benalu” yang terus diperdebatkan kredibilitas ajaranya dalam bangsa ini.
Penulis bukan bermaksud mengungkit jasa dari para santri pondok pesantren. Tapi memang itu kenyataannya. Santri menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan hak kemerdekaan bangsa ini.
Bahkan jauh sebelum tahun bangsa ini Merdeka santri dan pondok pesantren sudah mengarah untuk mengupayakan kemerdekaan itu dari perbudakan kolonialisme.
Sebut saja perlawanan bersenjata pangeran Diponegoro tahun 1815-1830, perang aceh tahun 1873-1904, perang padri tahun 1821-1838, perang banjar 1859-1905 dan banyak perlawanan lainya yang dipelopori oleh hasil Pendidikan ulama dan pondok pesantren.
Namun era sekarang ini ada banyak yang memandang sinis pola dan sistim dalam pondok pesantren. Hal ini dilatar belakangi oleh sebuah tragedi yang pasti tidak diinginkan oleh suatu Lembaga tersebut.
Setelah itu, seolah olah menjadi kesempatan emas bagi para pembenci pondok pesantren untuk melancarkan jurus-jurus doktrinisasi agar Masyarakat secara keseluruhan enggan memasukan putra putrinya ke Lembaga pondok pesantren dengan cap “perbudakan modern” ataupun lainya.
Belum lagi baru-baru ini ada sebuah program dari televisi terkemuka yang juga ikut “nimbrung” dalam menyudutkan kyai di pondok pesantren yang menyoroti Pondok Pesantren Lirboyo dengan narasi seperti: “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, amplop untuk kiai, kiainya kaya raya”.
Anehnya, sikap atau tayangan seperti itu justru dilontarkan oleh media nasional yang selalu menggaungkan asas kode etik jurnalistik. Entahlah, apakah hal tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. Penulis masih awam tentang itu.
Tayangan tersebut sudah menjadi polemik besar seolah mengadu domba sistim pondok pesantren dan menimbulkan gejolak masyarakat luas khususnya mereka para alumni, santri dan masyarakat lingkup pesantren.
Padahal Poin ke-8 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa wartawan tidak boleh menulis/menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, atau cacat.
Dalam kasus ini, narasi yang ini menyimpulkan dengan sepihak kehidupan pesantren, memperlihatkan santri yang “minum susu harus jongkok,” atau memperlihatkan amplop kepada kiai dengan cara yang bisa diartikan sebagai “santri harus memberi uang".
Bisa dianggap menurunkan martabat atau memperkuat stigma yang merugikan pesantren dan santri. Ini bisa termasuk pelanggaran terhadap poin ke-8.
Untungnya sebelum tulisan ini dibuat sudah ada pernyataan permohonan maaf dari tim direksi dan sudah memohon maaf juga terhadap pengasuh pondok Pesantren Lirboyo dan mengakui kelalaian dalam isi berita yang ditayangkan dan tetap bertanggung jawab atas hal yang sudah dilakukan.
***
*) Oleh : Rizki Nur kholis, Ka. Madin Pp Subulussalam Tegalsari Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |