TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Mesin waktu bolehlah terus berjalan tapi waktu tak boleh sedikitpun diabaikan.
Dulu manusia begitu menggandrungi telo godok(ubi rebus) namun sekarang jika ingin makan telo harus di modifikasi terlebih dahulu. Jika tak dimodifikasi, maka itu akan berpengaruh dalam harga dan juga cita rasa. Agar lebih aesthetic, ubi itu diolah ala Korean style menjadi Goguma latte, ala restoran style telo godok diubah menjadi Strudel Ubi. Tentu tampak lebih menarik.
Inti dari sebuah makanan itu hakikatnnya bukan hanya di lihat dari sudut tampilan dan sajiannya saja. Tetapi yang paling inti adalah histori dibalik makanan itu. Umumnya yang suka makanan ubi rebus adalah penduduk desa dan dijual di warung-warung dengan harga yang murah meriah. Meskipun deemikian, perlu diketahui bahwa ada banyak potongan kisah klasik dibalik cara pembuatannya.
Si pemilik warung membelinya dari petani, petani menanam dan memanennya dengan susah payah. Mulai dari bergelut dengan terik matahari lalu harus sigap menghadapi tawar menawar dari para pembeli. Belum lagi jika menawarnya tak sesuai harga yang semestinya, harga teman misalnya. Jiwa sosial serta kekuatan hati harus dikorbankan disini.
Sama halnya dengan makanan, gaya hidup manusia pun turut dipertimbangkan. Contoh fenomena Santribritis. Gabungan kata dari santri dan selebritis. Dulu sebelum santri melek teknologi, setiap dari mereka hanya berkecimpung dengan kesibukannya masing-masing. Saat di pesantren mereka disibukkan dengan kegiatan belajar mengajar kitab kuning, hafalan al-Quran atau nadzom. Ketika kegiatan usai maka di kembalikan ke masing-masing santri.
Ada santri yang rajin, setelah kegiatan belajar ia mengulas kembali pelajaran tersebut. Adapula santri yang seusai belajar lalu beranjak pergi. Bahkan ada juga yang tidur kembali. Namun dari usainya kegiatan tersebut tak ada satupun dari mereka yang berinisiatif untuk mengekspos di media sosial media. Contohnya adalah Instsgram.
Pengguna Instagram di Indonesia bertambah 3,9 juta pada Kuartal IV 2021. (Databoks.katadata.co.id). Dalam kalkulasi tersebut juga termasuk data pengguna dari para santri. Dewasa ini, santri mulai tertarik dengan Instagram. Banyak dari mereka yang turut berkontribusi di dalamnya. Baik itu menggunakan akun yang dikelola oleh pihak pondok pesantren atau akun pribadi.
Menjadi Santribritis atau seleb di media sosial tentu sangat menguntungkan. Entah untuk santri itu sendiri maupun untuk pesantren. Mengapa demikian? Karena, selain dikenal banyak khalayak, fenomena ini juga merupakan peluang bisnis untuk menghasilkan uang. Bisa diperoleh melalui job/endorse dari salah satu produk. Selain itu, pondok pesantren juga akan berkembang sehingga dapat menggaet banyak santri.
Seorang santri bisa dikatakan selebritis jika ia memiliki ribuan followers dan jumlah like yang tak sedikit. Sebagai orang yang memiliki banyak followers, tentunya segala sesuatu yang diposting oleh Santribritis akan menjadi perhatian netizen. Karenanya, para Santribritis harus lebih berhati-hati dalam memposting status, foto dan video. Sebab, hal itu bisa jadi membawa efek kepada pengikutnya.
Jika yang diposting hanyalah sebuah foto yang dipoles dengan filter yang disediakan oleh Instagram, tentu unfaedah. Akan sia-sia tak dampak yang pasti bagi para penikmat sosmed. Jangan sampai terlena dengan dunia maya dan hiruk pikuk dunia lalu lupa dengan kewajibannya. Bagaimana pun tugas santri adalah Khairunnas anfa’uhum linnas, menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain. Dalam arti, yang kita posting wajib mengandung nilai-nilai ke-Islaman walaupun hanya secuil. Dengan demikian, para Santribritis sudah menunaikan tugasnya sebagai khalifah(pimpinan atau utusan) di muka bumi. Mereka telah berdakwah mengajak orang lain dalam kebaikan.
Fakta adanya, semakin menarik, semakin unik konten yang disajikan maka akan bertambah jumlah pengikut yang didapatkan. Terlebih lagi jika sajiannya kontoversial, otomatis akan tambah meroket lagi followersnya. Layaknya selebgram lainnya, Santribritis juga bisa memiliki kedekatan hubungan yang lebih dengan para pengikutnya. Karena setiap gerak-gerik yang dilakukan akan diikuti. Antara selebritis dengan penggemar dapat dengan mudah untuk saling membalas komentar bahkan tak segan untuk bertukar kabar.
Kesempatan menjadi seleb harus digunakan sebaik mungkin. Menurut Psikolog A. Kasandra Putranto dalam GenPI.co, Jumat, (19/6), keinginan untuk selalu tampil sempurna tersebut disebabkan oleh beberapa alasan yakni karena finansial, sosial dan emosional. Jangan hanya karena memenuhi hawa nafsu untuk tampil apik nan sempurna di Instagram, namun tak sempurna di mata Tuhan.
Sebagai seorang santri alangkah lebih baik jika mengambil ibrah(pelajaran) dari kisah Uwais al-Qarni, seorang hamba pemuda asal negeri Yaman yang tidak banyak orang mengenalnya. Uwais Al-Qarni berasal dari kabilah Murad yang tak masyhur di muka bumi, tetapi begitu masyhur di langit. Oleh karena itu, janganlah kita menjadi insan yang tersohor di dunia, namun tidak tercatat sebagai hamba yang shalih atau orang yang beriman di hadapan Yang Esa. Sebab akhir-akhir ini begitu banyak orang yang popoler dan bangga dengan duniawinya, jabatannya dan statusnya namun dihadapan Allah tak ada nilainya.
***
*) Oleh: Ayu Mutmmainnah, Mahasiswi Tadris/Pendidikan Bahasa Inggris (TBIG) IAI Darussalam Blokagung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Balada Santribritis: Momentum untuk Dakwah atau Sekedar Lifestyle Semata
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |