https://banyuwangi.times.co.id/
Berita

Rizal Ramli: Isu Referendum Muncul Karena Ketidakadilan untuk Papua

Jumat, 06 September 2019 - 19:26
Rizal Ramli: Isu Referendum Muncul Karena Ketidakadilan untuk Papua Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli (FOTO: Dokumen TIMES Indoneisa)

TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – Aksi unjuk rasa mengecam tindakan makian, rasisme dan referendum papua muncul di berbagai kabupaten/kota Papua dan Papua Barat, termasuk juga wilayah lain di luar Papua mulai 19 Agustus lalu. Beberapa aksi tersebut berujung rusuh, seperti di Manokwari, Sorong, Fakfak, Deiyai, serta Jayapura.

Sejumlah bangunan, dan fasilitas umum, bangunan pertokoan, hingga gedung DPRD setempat menjadi sasaran amukan massa aksi. Selain masalah rasisme, mereka juga menuntut referendum Papua. Bendera dan atribut Bintang Kejora mewarnai selama aksi mereka digelar.

Pun demonstrasi serupa di depan Markas Besar TNI Angkatan Darat dan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu 28 Agustus lalu. Sembari mengibarkan bendera Bintang Kejora, demonstrasi yang dipimpin Ambrosius itu, menuntut pemerintah Indonesia mempersilahkan Papua melakukan referendum. Demikian ini sebagai upaya memutus mata rantai diskriminasi dan rasisme terhadap masyarakat Papua.

Tuntutan Papua memisahkan diri dari Indonesia sejatinya bukan barang baru. Suara itu sudah muncul sejak RI menganeksasi Papua pada medio 1969, namun kini semakin masif menyusul kasus rasial terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur.

Adanya dorongan Papua dan Papua Barat untuk keluar dari Indonesia harus menjadi bahan introspeksi bagi pemerintahan Jokowi.

Menurut mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, isu referendum ini kembali digulirkan bisa jadi akibat rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat di Bumi Cendrawasih tersebut.

Dia menuturkan, di masa kepemimpinan Presiden Ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, masyarakat Papua selalu dianggap tak ubahnya seperti keluarga. Maka dari itu, ketika ada dorongan Papua ingin keluar dari Republik Indonesia, pemerintah harus berintrospeksi.

“Saya seperti halnya Gus Dur kalau ada teman-teman dari Papua, bilang pengen merdeka. Saya anggap teman-teman ini saudara sendiri, keluarga sendiri, kalau ada anak-anak kita mau keluar rumah, enggak mau di sini lagi, masa mau kita usir, masa mau kita bilang silakan," kata dia.

"Justru kita pakai alat untuk intropeksi. Saya sebagai orang tua sudah benar belum, sudah adil belum, saya perhatikan anak-anak saya sama atau enggak,” tutur Rizal Ramli dalam acara diskusi 'Ngobrol Bareng tentang Papua' di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (26/8/2019).

Bukan malah menuding, ada pihak yang menunggangi aksi demonstarasi masyarakat Papua dan Papua Barat. Menurutnya, Gus Dur tak pernah mempermasalahkan ucapan masyarakat Papua yang ingin merdeka dan keluar dari Republik Indonesia.

Namun, selalu menjadikannya introspeksi serta merangkul masyarakat Papua. “Itu ungkapan dari rasa ketidakadilan. Itulah kenapa Gus Dur enggak ada masalah ngomong kayak begitu, saya rangkul. Kalau salah kita benerin,” imbuh Rizal Ramli.

Pemerintah kekinian harus berintrospeksi serta tidak mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan diskriminasi dan rasial di Papua dan Papua Barat.

“Jadi saudara-saudara di Papua, kita adalah saudara, kalau ada kelemahan pemerintah pusat, ngaku, minta maaf, kita perbaiki. Jangan sampai menggunakan kekerasan sebagai satu-satunya cara. Kecuali, gerakan bersenjata. Nah kami minta aparat kita, polisi maupun militer itu untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap rakyat,” imbau Rizal Romli.

Penumpang Gelap Kerusuhan Papua

Saat berdialog dengan Karni Ilyas dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada Selasa (3/9/2019), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyebut ada penumpang gelap di balik kerusuhan Papua. Mereka yang disebut penumpang gelap itu dinilai sengaja memecah belah Indonesia dengan menebar isu dan provokasi.

Wiranto menegaskan pemerintah berkomitmen menindak tegas secara hukum para aktor di balik isu rasisme yang terjadi di Surabaya hingga memicu konflik di Papua. Sebab baginya, polemik di Papua tidak akan terjadi tanpa campur tangan oknum.

Ditanya tentang penumpang gelap yang dimaksud. Jawaban Wiranto abu-abu. Mantan Panglima ABRI ini hanya menyebut, kekacauan yang terjadi dipicu dari masalah yang dibesar-besarkan.

“Bermula dari satu hinaan-hinaan, dan perobekan bendera yang sementara masih dalam pengusutan, itu sebenarnya bisa diselesaikan secara arif tanpa melebar kesana kemari, tapi kenyataan tidak seperti itu,” terangnya.

Dalam kesempatan lain, Wiranto mengungkap sosok Benny Wenda berada di balik aksi tersebut. Kata dia, Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) itu melakukan provokasi dan aktif menyebar hoaks alias informasi palsu soal Papua ke luar negeri.

Benny adalah salah satu tokoh yang sejak lama memperjuangkan kemerdekaan Papua. Ia kini tinggal di Oxford, Inggris, dan aktif menggalang dukungan internasional. Ia pernah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Michelle Bachelet, akhir Januari 2019.

Papua Merdeka dan Kedudukannya Secara Hukum

 Peneliti Ahli Afrika Universitas Indonesia (UI) Christophe Dorigne memandang, adanya desakan atau keinginan Papua agar lepas dari Indonesia bukanlah keinginan akar rumput masyarakat setempat. Namun, dirinya melihat, keinginan tersebut terus muncul dari pihak-pihak luar yang memiliki kepentingan atas kekayaan alam di Papua.

"Permintaan keluar dari Indonesia di Papua biasanya bukan dari grassroot. Tetapi justru dari luar. Hal tersebut juga terjadi di negara-negara lain di dunia yang wilayahnya akhirnya lepas," kata Christophe saat menghadiri acara ‘Seminar Politik Papua’ yang digelar Pusat Kajian Otonomi Daerah (Puska Otoda) Program Studi Ilmu Politik FISIPol Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Kamis (8/9/2019) kemarin.

Pakar Pertahanan dan Diplomasi Connie Rahakundini Bakrie kepada wartawan menyatakan, ada banyak faktor yang menyebabkan gejolak perkepanjangan di Papua. Dari rentetan kejadian yang baru-baru ini bergulir, disinyalir ada upaya dari pihak tertentu yang terus sengaja memainkan isu nama, bahasa, dan etnis.

“Masalah pertahanan keamanan selalu menjadi kambing hitam atas kelalaian akibat dari sebab utama yang belum tersentuh para politisi dan Kementerian/Lembaga terkait kesetaraan, budaya, etnisitas dan bahasa,” ucap Conni, Jakarta, Jumat (6/9/2019).

Ia menyarankan agar pemerintah segera mencari strategi pendekatan baru terhadap Papua. Intinya diperlukan strategi baru (outside the box) yang lebih konkret dan berani, seperti bersama-sama sejumlah negara yang belum tersentuh dalam kerangka kerja sama pertahanan, keamanan, intelijen, dan kepemudaan.

"Perlu langkah strategis mengefektifkan peran Indonesia, utamanya TNI, Polri, BAIS dan BIN serta kementerian pertahanan dan kementrian luar negeri bagi terwujudnya diplomasi total terhadap Papua dalam kerangka Strategic Defence, Security And Intelligence Partnership Kawasan Indo-Pacific & Indonesia Afrika, khususnya peran 55 negara-negara Afrika didalamnya,” imbuh Connie.

Ihwal, keinginan atau dorongan Papua keluar dari Indonesia sangat sulid dan bahkan tidak mungkin bisa direalisasikan. Kata mantan Ketua MK, Mahfud MD, secara hukum nasional dan hukum internasional, Papua dilihat sebagai bagian yang sah dari negara yang berdaulat yakni Indonesia. Sehingga tidak bisa meminta bantuan dari dunia internasional untuk mengadakan referendum.

"Masalah hukum dulu jadi gini dalam kontek Papua ini kan muncul suara ada minta referendum. Oleh sebab itu, tema itu tidak akan pernah bisa diwujudkan, karena apa di dalam tata hukum kita, di dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain tidak ada mekanisme pengambilan referendum," ujar Mahfud MD, Kamis (5/9/2019) kemarin.

Senada dengan Mahfud MD, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Abdullah Mahmud Hendropriyono menilai, menggulirkan kembali isu ini hanya menyesatkan alam pikir publik terkait status Papua dan Papua Barat di Indonesia. Lagi pula, kata dia, rakyat Indonesia yang berada di Papua pernah menggelar Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera pada 1963. Pepera kala itu menyatakan rakyat di Pulau Papua bagian barat ingin jadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia.

"Referendum apalagi? Itu artinya penyesatan kepada orang-orang yang belum mengerti. Maka dari itu, lawan itu. Ini pembodohan, enggak ada cerita referendum untuk negara berdaulat. PBB itu sudah membuat satu Pepera yang sudah resmi, diakui, dan didukung Papua gabung ke Indonesia” ucap Hendropriyono di Jakarta Selatan.

Kembali ke Mahfud MD, pemerintah memiliki kewenangan melakukan langkah-langkah termasuk tindakan tegas, untuk mempertahankan Papua dan papua Barat. Bahkan, jika terpaksa bisa melakukan dengan tindakan secara militer atau langkah keamanan.

"Nah kalau tindakan tegas harus dilakukan, berdasarkan pasal 4 ICCPR, yang bunyinya setiap negara boleh melakukan semua langkah yang diperlukan untuk mempertahankan kedaulatannya atas satu wilayah, boleh langkah militer, boleh langkah keamanan. Itu kalau terpaksa melakukan itu,” demikian jelas Mahfud MD.

Pewarta : Hasbullah
Editor : Yatimul Ainun
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.