TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Misatun Altuniyah tak pernah menyangka bahwa rentetan sikap romantis yang tiba-tiba ditunjukkan suaminya, Eko Satriyo, akan menjadi kenangan manis terakhir mereka. Eko Satriyo adalah salah satu korban tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di perairan Selat Bali pada Rabu malam, 2 Juli 2025.
Warga Lingkungan Sukowidi, RT 1/RW 1, Kelurahan Klatak, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur ini, mengaku tidak memiliki firasat khusus sebelum tragedi itu terjadi. Namun, perilaku suaminya mendadak berubah menjadi sangat romantis, tak seperti biasanya.
"Sebelum dia pergi, habis mandi waktu saya cuci piring dia tiba-tiba memeluk dan mencium saya," ujarnya dengan nada lirih di kediamannya, Jumat, (4/7/2025).
Keromantisan itu tak berhenti di situ. Pada Rabu siang, 2 Juli 2025, Eko Satriyo juga sempat mengirimkan pesan singkat yang mengharukan: ‘istriku sayang, aku minta maaf’. Pesan yang kini menjadi goresan luka di hati Tuniyah.
"Dia bilang sayang tapi saya ditinggalkan. Aku nggak bisa mas," kata Tuniyah, sembari tak kuasa menahan air mata. Dia tak pernah menduga pesan singkat penuh cinta itu adalah salam perpisahan terakhir dari belahan jiwanya.
Eko Satriyo, akhirnya ditemukan meninggal dunia di Perairan Jembrana, Bali, sementara putra mereka, Eko Toniansyah atau yang akrab disapa Toni, ditemukan selamat.
Tuniyah menceritakan, suaminya sehari-hari bekerja sebagai sopir truk tronton, sementara Toni baru sebulan terakhir ikut membantu sebagai kernet.
Malam itu, sekitar pukul 21.00 WIB, Eko dan Toni berangkat membawa material semen menuju Singaraja, Bali. Pukul 22.00 WIB Eko Satriyo menelfon Tuniyah meminta tolong untuk ngabari adik ngurus beberapa keperluan di kantor.
“Jam 11 malam saya masih bangun, belum tidur main hp. Setelah itu saya tidur dan pagi hari adek saya nyusul dan mengabarkan Eko Satriyo dan anak saya ikut jadi korban kapal tenggelam, disitu anak saya terselamatkan Bapak Eko Satriyo tidak,” jelasnya mengenang kepanikan yang melanda.
Setelah suaminya dievakuasi dan tiba di rumah, Tuniyah segera menanyakan kronologi kejadian kepada Toni. Dari penuturan Toni, tragedi itu berlangsung sangat cepat. Awalnya Toni berada di atas dek kapal, sementara sang ayah di truk.
Eko Satriyo kemudian naik ke atas dek menemui Toni karena kehabisan rokok. Toni pun memberinya sebatang rokok dan meminta ayahnya untuk tetap menemaninya di dek.
Tiba-tiba, kapal miring dan berlangsung cepat tenggelam. Keduanya sempat meraih pelampung yang tersedia. Menurut Tuniyah, mereka tidak melompat, melainkan berdiri di pinggiran dek, mengikuti ritme tenggelamnya kapal.
"Katanya sempat ikut tersedot ke bawah laut saat kapal tenggelam. Katanya sekitar 20 detik. Saat kembali ke permukaan suami sudah meninggal tapi anak saya selamat," Misatun mengisahkan kembali cerita Toni dengan suara bergetar.
Yang lebih memilukan, Toni mengapung di laut sejak pukul 24.00 hingga 05.30 WIB. Selama berjam-jam terapung, Toni tetap memegang jasad ayahnya, tak mau melepaskan, hingga akhirnya mereka ditemukan oleh nelayan.
Tuniyah mengaku tak menyangka harus berpisah dengan belahan hatinya secepat ini. Selama ini, suaminya memang jarang di rumah, lebih banyak menghabiskan waktu di jalan.
Meskipun begitu, dia mengenang Eko Satriyo sebagai sosok pria yang sangat perhatian. Tuniyah yang menderita diabetes sering dikirimi obat dan diminta rutin membaca doa-doa.
"Suami perhatian, sering ngirim obat herbal, kirim doa untuk saya, sering mengingatkan sholat. Terakhir saya diingatkan baca ayat kursi 11 kali," kenang Tuniyah, mata berkaca-kaca.
Selain perhatian pada keluarga, Eko Satriyo juga dikenal sebagai pria dermawan yang menyayangi anak-anak. Ia suka berbagi uang dengan anak-anak kecil, bahkan memiliki empat anak angkat. Eko juga rutin beramal ke masjid.
"Kemarin amal ke masjid. Terus saya dia ngomong Senin depan amal lagi di masjid," ujar Tuniyah, menuntaskan kisah pilu tentang suaminya yang kini telah tiada. (*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |