Kopi TIMES

PPDB Berkeadilan

Jumat, 26 Mei 2023 - 17:57
PPDB Berkeadilan Dr. Asep Totoh,SE.,MM; Dosen PS FEBI Ma’soem University; Dosen Pascasarjana MBA Telkom University; Wadir Marketing YPDM Bakti Nusantara 666 Cileunyi Kabupaten Bandung

TIMES BANYUWANGI, BANDUNG – PPDB atau Penerimaan Peserta Didik Baru tahun 2023 akan sangat menentukan puluhan juta anak usia sekolah yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, PPDB setiap tahunnya menyisakan beragam kisah didalamnya dengan minat tinggi masyarakat ke sekolah negeri, daya tampung dan pembiayaan.

Senyatanya PPDB harus dipastikan memberikan keadilan dan kesempatan yang sama dalam mengakses layanan pendidikan yang berkualitas bagi calon siswa baru. Pemerintah sampai saat ini masih terus melakukan upaya perbaikan dalam regulasi dan implementasi PPDB, model PPDB sistem zonasi pun masih belum bisa menjadi solusi terbaik pemerataan Pendidikan masyarakat.

Merujuk Permendikbud Nomor 14 tahun 2018, sistem zonasi ini diharapkan agar tidak adanya sekolah yang dinilai favorit, pemerintah berharap adanya pemerataan murid disekolah swasta dengan sekolah negeri. 

Ditinjau dari pemerataan sekolah yang belum merata sistem ini dinilai masih kurang tepat, banyak sekali pro kontra yang diakibatkan oleh sistem zonasi. Sehingga ada saatnya para orangtua menghalalkan segala cara agar anaknya  dapat masuk sekolah negeri, seperti adanya pindah domisili ke sekolah yang ingin dituju dan banyak cara lagi agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang dituju.

Sekolah Swasta

Idealnya pelaksanaan PPDB harus mampu mengakomodasi hak anak dari semua kalangan secara proporsional dan adil untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminatif. PPDB zonasi pun belum bisa memberikan ketidakadilan untuk akses pendidikan, yaitu akses ke sekolah negeri dan sekolah swasta tidak berimbang

PPDB bagi sekolah swasta adalah ukuran kepercayaan masyarakat dan sebagai daya tahan keberlangsungan hidup sekolah, jelaslah jika keberadaan sekolah swasta adalah tergantung dari jumlah perolehan siswa.

Tantangan terbesar sekolah swasta adalah masyarakat masih “negeri minded”, yakni sekolah swasta menjadi nomor dua karena pilihan pertama adalah sekolah sekolah negeri. Selanjutnya kebijakan pemerintah dengan sekolah gratis sedangkan masuk kesekolah swasta harus berbayar dan diasumsikan masyarakat sebagai sekolah mahal.

Melihat keberadaannya sekolah swasta bisa dikategorikan menjadi dua yaitu “elit dan alit”. Sekolah elit adalah sekolah pilihan langsung masyarakat yang tidak memilih dan berminat sekolah negeri karena percaya pada layanan dan kualitas sekolah, biasanya memiliki pangsa pasar tersendiri dan kuota pendaftar siswa cepat terpenuhi dan sudah tutup sebelum pendaftaran sekolah negeri.

Sedangkan sekolah alit adalah sekolah pilihan kedua setelah sekolah negeri yang menanti pengumuman tidak diterima di sekolah negeri. Sekolah alit menjadi sekolah alternatif sehingga jumlah pendaftar akan terlihat meningkat setelah resmi pengumuman penerimaan dari sekolah negeri.

Ironis memang jika melihat posisi dan keadaan yang terjadi di sekolah swasta khususnya dengan kategori sekolah ‘alit’, yang terjadi saat ini adalah mengalami terus penurunan jumlah siswa pendaftar.

Ada banyak faktor penyebabnya selain karena tidak mampu berbenah diri dan bersolek dalam kualitas layanan, hal lainnya seperti penambahan unit sekolah baru, penambahan jumlah ruang kelas atau panitia secara diam-diam menambah jumlah rombongan belajar, sehingga sekolah negeri menerima peserta didik lebih banyak dari kuota yang seharusnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam PPDB.

Setiap tahun ajaran baru dimulai, bagi sekolah swasta seakan-akan sudah bisa mengukur umur mereka. Kecenderungan yang terjadi setiap tahunnya adalah semakin sedikit peserta didik yang bisa mereka jaring. Tidak aneh jika kondisi sekolah swasta kebanyakan saat ini adalah “hirup teu neut, paeh teu hos”, dan pada akhirnya mereka pun akan mati perlahan.

Bagi sekolah swasta saat ini dan untuk pemerataan pendidikan maka dibutuhkan dukungan dan kebijakan pemerintah daerah untuk; Pertama, pembatasan jumlah rombongan belajar yang diterima di sekolah-sekolah negeri. Misalnya jika jumlah rombel sebelas kali 32 siswa maka itu harus benar-benar dipatuhi, jika ada kepala sekolah atau panitia yang melanggar maka harus disangsi tegas. Langkah ini dapat dipastikan mampu membuat sekolah-sekolah swasta bisa bernapas lega.

Kedua, mendorong masyarakat jika sekolah swasta bukan sekolah mahal. Selain pemberian dana bos maka perlu ada bantuan lainnya dari pemerintah daerah, alokasi anggaran pendidikan kiranya bisa dikhususkan untuk meringankan biaya mendidikan disekolah swasta.

Perlakuan atau terobosan lain dan harus menjadi satu kebijakan khusus dari pemerintah daerah bagi sekolah swasta, pemerintah daerah bisa melibatkan lembaga filantropi, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk ikut membantu anak-anak yang tidak dapat membayar SPP. Atau dengan dana CSR untuk pemberian beasiswa dari perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah BUMN. 

Kebijakan ini tentunya akan sangat membantu sekolah swasta dan masyarakat dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Jika perlakuan atau kebijakan khusus ini bisa dilakukan maka akan bisa menjadi penyelesaian yang adil karena pemerintah benar-benar menempatkan sekolah-sekolah swasta sebagai mitra dalam membangun anak-anak bangsa. 

Yang tidak kalah paling penting adalah bagaimana sekolah swasta itu sendiri untuk mereposisi menjadi pilihan pertama masyarakat, bisakah sekolah swasta menjadi sekolah unggulan yang ketika sekolah negeri belum membuka pendaftaran siswa baru tetapi sudah menutup pendaftaran bahkan untuk untuk bisa masuk ke sekolah swasta tersebut harus indent atau waiting list dalam PPDBnya?

***

*) Oleh : Dr. Asep Totoh,SE.,MM; Dosen PS FEBI Ma’soem University; Dosen Pascasarjana MBA Telkom University; Wadir Marketing YPDM Bakti Nusantara 666 Cileunyi Kabupaten Bandung; Guru PKKWu SMK Bakti Nusantara 666; Wakil Ketua BMPS Kab. Bandung; Sekretaris MGMP PKK Kab. Bandung; Pengurus Tim Sekolah Pencetak Wirausaha Jawa Barat.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.