TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Arus globalisasi dan digitalisasi abad ini, mendorong dunia pendidikan untuk mentransformasi pendekatannya secara mendasar. Konsep Deep Learning atau pembelajaran mendalam kini menjadi narasi utama dalam desain pendidikan modern karena menekankan pengembangan keterampilan berpikir kritis, reflektif, kolaboratif, dan kontekstual.
Sebagaimana ditegaskan dalam landasan filosofis dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, jenjang pendidikan dasar, dan menengah.
Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa pembelajaran mendalam menempatkan peserta didik sebagai pusat proses belajar, melalui penciptaan suasana belajar yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.
Semangat pembelajaran mendalam sejatinya berakar kuat dalam nilai-nilai luhur bangsa, sebagaimana pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang mengajarkan pentingnya saling memuliakan dalam lingkungan pendidikan. Beliau menekankan penghormatan mendalam terhadap tiga elemen penting: guru, teman sejawat, dan sumber ilmu.
Menghormati guru berarti mengakui peran mereka sebagai pendidik dan teladan, dengan mendengarkan, mematuhi, serta bersikap sopan. Sementara itu, penghormatan terhadap teman sejawat membentuk iklim belajar yang kolaboratif, penuh dukungan, dan jauh dari persaingan tidak sehat.
Sementara itu, menghormati sumber ilmu mengajarkan pentingnya menjaga kesucian ilmu dengan memanfaatkannya untuk tujuan mulia dan tetap rendah hati dalam pencapaian intelektual. Inilah nilai-nilai lokal yang mestinya menyatu dengan semangat kebijakan nasional dalam membangun ekosistem pendidikan yang transformatif dan membumi.
Konsep Deep Learning (pembelajaran mendalam) muncul sebagai pendekatan kunci dalam menjawab tantangan transformatif dalam dunia pendidikan abad ke-21. Trilling & Fadel (2009) menegaskan bahwa pendidikan modern harus melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, mampu berkomunikasi dan berkolaborasi, serta memiliki literasi digital.
Pembelajaran tidak lagi cukup berpusat pada hafalan dan transfer pengetahuan satu arah, melainkan harus bersifat reflektif, kontekstual, dan berorientasi pada pemecahan masalah nyata (Kennedy & Sundberg, 2020; Colomer et al., 2020).
Secara empirik, implementasi pendekatan ini di berbagai lembaga pendidikan masih terkendala oleh kurikulum yang belum adaptif, ketimpangan kapasitas guru, dan keterbatasan sarana pembelajaran yang mendukung kolaborasi dan eksplorasi makna.
Dari sisi teoritik, pembelajaran mendalam menuntut pergeseran dari paradigma behavioristik menuju konstruktivistik dan humanistik yang belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian besar pendidik.
Secara normatif, terdapat kebutuhan mendesak untuk menempatkan pendidikan sebagai proses pemanusiaan (humanisasi) yang utuh, yang bukan hanya mengejar capaian kognitif, tetapi juga penguatan karakter, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial.
Faktanya, lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di wilayah pedesaan sering kali bertumpu pada dedikasi para guru honorer atau relawan yang bekerja dalam keterbatasan, baik dari segi insentif maupun pelatihan pedagogik yang memadai.
Di sisi lain, tuntutan implementasi konsep Deep Learning yang menekankan pembelajaran reflektif, berbasis proyek, kolaboratif, dan kontekstual memerlukan kapasitas guru yang tinggi dalam hal desain kurikulum, penguasaan teknologi, serta pemahaman pendekatan pedagogik yang bersifat transformatif.
Realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan. Guru PAUD di desa masih berjibaku dengan beban administratif, minimnya media belajar yang memadai, serta rendahnya dukungan anggaran dari pemerintah daerah maupun lembaga mitra.
Sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat NU yang selama ini mengelola layanan PAUD berbasis kerelawanan, saya memahami betul tantangan nyata di lapangan yang dapat menjadi batu sandungan bagi keberhasilan implementasi strategi Deep Learning di masa mendatang.
Meskipun saat ini strategi tersebut baru memasuki tahap sosialisasi dan bimbingan teknis, pengalaman kami menunjukkan bahwa ketimpangan infrastruktur, terbatasnya kapasitas pendidik, dan minimnya dukungan insentif merupakan persoalan klasik yang harus segera diantisipasi agar transformasi pendidikan usia dini tidak berhenti di tataran wacana.
Ketimpangan infrastruktur, keterbatasan sumber daya manusia pendidik, dan insentif yang nyaris tak layak menjadi tantangan struktural yang sering luput dari perhatian pembuat kebijakan. Padahal, masa usia dini merupakan fondasi penting dalam membentuk kemampuan kognitif, afektif, dan karakter anak.
Jika Deep Learning hendak diarusutamakan sebagai pendekatan strategis pendidikan periode kepemimpinan saat ini, maka intervensi serius perlu diarahkan pada penguatan kapasitas lembaga PAUD terutama di pedesaaan/pinggiran agar tidak tertinggal dalam transformasi pendidikan nasional.
Tawaran Intervensi Kebijakan
Menerapkan metode Deep Learning di lembaga PAUD pedesaan bukan sekadar urusan pedagogis, melainkan persoalan kebijakan kelembagaan yang harus direspon secara struktural.
Mengacu pada variabel kelembagaan pendukung relawan efektif sebagaimana dikemukakan oleh Sazonets et al. (2023), DPRD sebagai lembaga legislasi daerah memiliki ruang strategis untuk merancang intervensi kebijakan yang menguatkan peran guru PAUD berbasis kerelawanan sebagai agen transformasi pendidikan abad ke-21.
Terutama dalam konteks arah prioritas pembangunan nasional yang menekankan ketahanan pangan, energi, dan air melalui prinsip sinergi, kolaborasi, keberlanjutan, dan inklusi.
Pertama, DPRD perlu merumuskan kerangka hukum daerah (Perda) yang melindungi dan mengakui kerja relawan pendidikan melalui Legal Framework. Hal ini penting agar guru PAUD non-ASN mendapat legitimasi dan insentif sosial atas kontribusinya.
Kedua, mendukung dukungan keuangan berkelanjutan (Financial Support) melalui penganggaran APBD untuk pelatihan dan pengadaan media belajar kontekstual.
Ketiga, membangun infrastruktur pelatihan (Training Infrastructure) yang terstruktur bagi guru PAUD agar mampu menerapkan pembelajaran berbasis proyek sesuai prinsip Deep Learning.
Keempat, menetapkan sistem pemantauan (Monitoring Systems) berbasis komunitas untuk mengevaluasi efektivitas pembelajaran dan dampaknya terhadap kesadaran lingkungan dan ketahanan lokal anak usia dini.
Kelima, DPRD dapat mendorong pengembangan profesional (Professional Development) dengan membuka jalur karier atau beasiswa pendidikan bagi guru relawan yang konsisten di sektor PAUD.
Keenam, melakukan promosi publik (Public Promotion) melalui kampanye-kampanye penguatan peran relawan PAUD sebagai bagian dari gerakan pembangunan manusia dan lingkungan.
Ketujuh, memperkuat kolaborasi lintas sektor (Cross-sector Collaboration) dengan melibatkan dinas pendidikan, dinas lingkungan, pemerintah desa, CSR perusahaan, dan organisasi masyarakat dalam mengembangkan pembelajaran PAUD yang terintegrasi dengan program ketahanan pangan, energi, dan air secara lokal.
***
*) Oleh : Dr. Emi Hidayati, S.Pd, M.Si., Ketua Yayasan Pendidikam Muslimat NU Banyuwangi, dan Dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |