TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Mari kita mulai dengan satu pertanyaan klasik yang sering muncul di ruang-ruang obrolan warung kopi: “Mengabdi itu demi rakyat atau demi rekening tabungan?"
Pertanyaan ini muncul tiap kali kita mendengar kabar segar dari Senayan: gaji pokok anggota DPR beserta tunjangan-tunjangannya yang jika dijumlahkan bisa menyentuh angka sekitar Rp104 juta per bulan.
Angka ini bukan berasal dari mitos urban atau cerita pengantar tidur, melainkan dokumen resmi: Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015.
Ironi muncul ketika kata “efisiensi” digaungkan di berbagai lini birokrasi, tapi hasil akhirnya bukan penghematan, melainkan penambahan fasilitas hidup nyaman bagi para wakil rakyat.
Kalau efisiensi diartikan sebagai “hemat untuk rakyat, boros untuk elite,” maka definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia mungkin harus segera direvisi.
Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menjelaskan, rakyat menyerahkan sebagian haknya kepada wakil untuk menjamin kepentingan bersama. Namun, jika wakil justru menggunakan kontrak itu sebagai alat memperkaya diri, maka kontrak sosial berubah menjadi kontrak bisnis, rakyat sebagai investor, anggota DPR sebagai penerima dividen.
John Locke bahkan menekankan bahwa pemerintah kehilangan legitimasi jika tidak lagi menjalankan public trust. Artinya, ketika efisiensi hanya berlaku untuk rakyat tetapi tidak untuk parlemen, maka legitimasi moral DPR bisa dipertanyakan.
Di sisi lain, Gaetano Mosca dalam teorinya tentang political elite menjelaskan bahwa setiap masyarakat pasti didominasi oleh minoritas kecil yang menguasai mayoritas. Di Indonesia, minoritas itu duduk manis di kursi DPR, lengkap dengan gaji tiga digit.
Mosca menyebut elite cenderung mencari cara mempertahankan kekuasaannya, dan salah satunya adalah melalui akses pada sumber daya ekonomi, ya, gaji besar dan tunjangan menggiurkan itu.
Max Weber membedakan antara “ethics of conviction” (etika keyakinan) dan “ethics of responsibility” (etika tanggung jawab). Seorang politisi idealnya menggabungkan keduanya: yakin bahwa ia mengabdi, tapi juga bertanggung jawab terhadap konsekuensi kebijakannya.
Sayangnya, di negeri+62 ini, etika keyakinan berubah jadi keyakinan akan saldo tabungan, sementara etika tanggung jawab lebih akrab dengan tanggung jawab membayar cicilan kendaraan dinas.
Mari kita kalkulasi sederhana: Rp104 juta per bulan berarti lebih dari Rp1,2 miliar per tahun per anggota DPR. Dikali 575 kursi DPR, kita bicara angka ratusan miliar per tahun.
Uang sebesar ini, kalau digunakan untuk pembangunan sekolah, subsidi kesehatan, atau memperbaiki jalan desa yang berlubang-lubang bak kawah mini, tentu lebih bermanfaat. Tetapi, dalam praktiknya, uang itu masuk ke dompet orang-orang yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kata “mengabdi” rupanya punya makna tersendiri di Indonesia, mengabdi pada kebutuhan pribadi, mengabdi pada kepentingan partai, dan sesekali, kalau ada waktu luang, baru mengabdi pada rakyat.
Ironisnya, rakyat tetap diberi suguhan retorika manis di panggung kampanye. “Demi rakyat, saya siap hidup sederhana.” Hidup sederhana dengan gaji Rp104 juta per bulan? Definisi sederhana ini mungkin memang hanya bisa dipahami dalam dimensi metafisika politik.
Dalam literatur ekonomi politik, Gordon Tullock dan James Buchanan memperkenalkan istilah rent seeking, yakni perilaku elite politik yang menggunakan posisi kekuasaan untuk meraih keuntungan pribadi tanpa memberi nilai tambah bagi masyarakat. Gaji jumbo plus tunjangan yang terus meningkat di tengah jargon efisiensi bisa dibilang adalah bentuk rent seeking yang dilembagakan secara sah.
Bandingkan dengan negara lain. Di Jepang, politisi yang salah menggunakan dana publik biasanya mengundurkan diri dengan menunduk dalam-dalam. Di Jerman, pejabat bisa kehilangan jabatan hanya karena plagiat disertasi.
Di Inggris, anggota parlemen bisa tumbang gara-gara salah klaim tiket kereta. Di Indonesia? Bahkan kasus berjuta rupiah bisa ditutup dengan kalimat sakti: “Mari kita move on.”
Maka tak heran jika publik sering menyebut DPR bukan Dewan Perwakilan Rakyat, melainkan Dewan Perwakilan Rente. Konsep kehormatan yang mestinya dijaga, justru tenggelam dalam kenyamanan fasilitas negara.
Jika ingin lebih jujur, jargon kampanye sebaiknya tidak lagi menggunakan kata “mengabdi.” Lebih realistis bila diganti dengan “berinvestasi.” Karena masuk DPR ibarat membeli saham: modal besar di depan, tetapi balik modalnya bisa sangat cepat, apalagi dengan gaji Rp104 juta per bulan.
***
*) Oleh : Ilham Layli Mursidi, Ketua Umum HMI Cabang Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |