TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Dalam kehidupan sosial Indonesia hari ini, keluarga masih menjadi fondasi utama yang menopang stabilitas masyarakat. Namun, gelombang globalisasi, modernisasi, dan perubahan nilai sosial-ekonomi telah mengguncang ketahanan keluarga.
Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan peningkatan angka perceraian dengan alasan dominan masalah ekonomi, perselisihan, serta pengaruh media digital.
Fenomena ini menegaskan bahwa resiliensi keluarga kemampuan untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih dari krisis sedang menghadapi tantangan berat.
Selain itu, konflik internal keluarga juga semakin kompleks. Generasi muda kerap mengusung nilai-nilai individualisme, sementara generasi orang tua masih teguh dengan norma tradisional.
Kondisi ini tidak jarang memunculkan kekerasan dalam rumah tangga. Komnas Perempuan (2025) mencatat kenaikan kasus KDRT hingga 20% dibanding tahun sebelumnya.
Dalam konteks inilah, tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) menemukan relevansinya, khususnya dalam aspek pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender, pendidikan berkualitas, dan kesejahteraan sosial.
Menariknya, apa yang menjadi visi SDGs ternyata tidak asing dalam tradisi Islam. Sejak berabad-abad lalu, para ulama telah mengembangkan konsep maqasid shariah yang berfokus pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Syatibi, 1997). Prinsip-prinsip maqasid inilah yang menjadi pondasi untuk membangun famili resiliensi di tengah dinamika global.
Jika ditarik ke belakang secara historis, konsep maqasid shariah sudah diletakkan oleh Imam al-Ghazali, kemudian disistematisasi oleh Imam al-Syatibi. Keduanya menekankan bahwa tujuan syariah bukanlah sekadar kepatuhan hukum, melainkan realisasi maslahat hidup manusia.
Hukum keluarga dalam Islam, seperti aturan pernikahan, warisan, hingga hak dan kewajiban suami-istri, diarahkan untuk menjaga keseimbangan serta keberlangsungan hidup keluarga (Auda, 2008).
Dalam konteks Indonesia, sejarah pembangunan keluarga juga mengalami transformasi. Pada masa Orde Baru, keluarga diposisikan sebagai instrumen pembangunan nasional dengan jargon "Keluarga Sejahtera".
Namun, pendekatan yang terlalu menitikberatkan pada aspek ekonomi dan jumlah anak dinilai kurang menyentuh dimensi kualitas relasi dan spiritualitas keluarga.
Baru pada era reformasi hingga kini, wacana pembangunan keluarga semakin inklusif dengan memperhatikan kesetaraan gender, kesehatan mental, dan hak anak (Badan Pusat Statistik, 2024).
Di titik ini, relevansi maqasid shariah semakin terasa dengan menawarkan keseimbangan holistik antara aspek spiritual, moral, sosial, dan ekonomi sesuatu yang juga diusung oleh SDGs.
Dari sisi teori, gagasan resiliensi keluarga sebagaimana dikemukakan oleh Froma Walsh (2003) memberi perspektif bahwa ketangguhan keluarga ditentukan oleh tiga pilar yakni sistem keyakinan, pola organisasi, dan komunikasi.
Menariknya, prinsip ini sejalan dengan maqasid shariah. Hifz al-din (perlindungan agama) memperkuat sistem keyakinan, hifz al-nasl (perlindungan keturunan) mengatur pola organisasi keluarga, dan hifz al-‘aql (perlindungan akal) mendorong komunikasi sehat serta pendidikan dalam keluarga.
Pemikir kontemporer seperti Jasser Auda (2008) kemudian memperluas maqasid dalam perspektif sistem yang adaptif. Ia menekankan bahwa maqasid tidak boleh dipahami kaku, melainkan harus mampu menjawab tantangan global termasuk pembangunan berkelanjutan.
Dengan demikian, maqasid shariah bisa berjalan seiring dengan SDGs dalam mendorong resiliensi keluarga yang sesuai konteks lokal maupun global.
Kerangka Regulasi Nasional dan Implementasi
Sementara itu, kerangka hukum nasional juga mempertegas pentingnya keluarga. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diperbarui dengan UU No. 16 Tahun 2019, menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Regulasi ini jelas selaras dengan maqasid shariah yang mengedepankan perlindungan agama, jiwa, keturunan, dan harta, sekaligus berkontribusi pada agenda SDGs terkait kesetaraan gender dan kesejahteraan keluarga (UU RI No. 1 Tahun 1974 jo. UU No. 16 Tahun 2019).
Pada ranah implementasi, sejumlah program pemerintah telah menampakkan integrasi maqasid shariah dan SDGs. Misalnya, Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai perlindungan sosial bagi keluarga miskin.
Secara maqasid, PKH menjaga harta (hifz al-mal) sekaligus melindungi kehidupan (hifz al-nafs). Ada pula program Bina Keluarga Remaja (BKR) dari BKKBN yang berfokus pada komunikasi sehat antaranggota keluarga dan pencegahan pernikahan dini.
Di tingkat masyarakat, lembaga keagamaan juga berperan penting melalui konseling keluarga dan penguatan spiritual berbasis nilai syariah. Bahkan fatwa-fatwa ulama dan majelis taklim berkontribusi dalam memperkuat ikatan keluarga.
Sementara itu, di skala global, SDGs mendorong kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat resiliensi keluarga melalui pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan, hingga perlindungan anak (Komnas Perempuan, 2025).
Namun, implementasi ini tidak selalu berjalan mulus. Keterbatasan anggaran, ketidaksinkronan kebijakan, serta perbedaan nilai antara masyarakat lokal dengan standar global menjadi hambatan nyata.
Karena itu, integrasi maqasid shariah sebagai kerangka normatif lokal dengan SDGs sebagai kerangka global perlu terus dikembangkan agar lebih kontekstual dan efektif.
Ketika membicarakan SDGs, selalu muncul pro dan kontra. Kelompok pro berargumen bahwa SDGs memberi kerangka global yang komprehensif untuk membangun kesejahteraan keluarga. Isu-isu seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan kesetaraan gender jelas berhubungan langsung dengan kualitas keluarga.
Sebaliknya, kelompok kontra menilai SDGs terlalu berorientasi pada perspektif Barat. Misalnya, isu kesetaraan gender kadang dipahami secara liberal sehingga dipersepsikan bertentangan dengan nilai Islam dan tradisi lokal.
Selain itu, ada kritik bahwa SDGs lebih banyak bersifat normatif, sementara implementasinya terkendala pada level praktis, terutama di wilayah pedesaan yang minim akses pendidikan dan kesehatan (Auda, 2008).
Dalam konteks resiliensi keluarga, pihak pro melihat SDGs sebagai peluang memperkuat keluarga dari aspek ekonomi dan sosial, sedangkan pihak kontra menilai bahwa ketahanan keluarga seharusnya berbasis nilai agama dan kearifan lokal, bukan semata mengikuti standar global (Walsh, 2003).
Meski terdapat perdebatan, integrasi maqasid shariah, SDGs, dan famili resiliensi adalah jalan strategis dalam membangun keluarga yang tangguh, adil, dan berkelanjutan.
Maqasid shariah menyediakan fondasi normatif-religius, SDGs memberi kerangka global pembangunan, sementara konsep resiliensi keluarga memastikan keluarga mampu bertahan di tengah krisis.
Dengan menempatkan keluarga sebagai pusat pembangunan sosial, bangsa ini dapat lebih siap menghadapi tantangan global, sekaligus menjaga nilai spiritual, budaya, dan kesejahteraan bersama. (*)
***
*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |