https://banyuwangi.times.co.id/
Opini

Menghadirkan Fiqih Ramah Gender

Senin, 24 November 2025 - 22:20
Menghadirkan Fiqih Ramah Gender Siti Hasanah, S.H.I., Guru Fikih dan Bahasa Arab MTs Al-Huda Sukorejo Bangorejo Banyuwangi.

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Dalam beberapa tahun terakhir, percakapan tentang kesetaraan gender semakin sering muncul di berbagai ruang publik Indonesia. Kita menyaksikan perempuan mengambil peran besar dalam ekonomi kreatif, pendidikan, hingga kepemimpinan sosial. 

Namun pada saat yang sama, kasus kekerasan terhadap perempuan masih muncul di berita harian, baik dalam bentuk kekerasan domestik, pernikahan anak, eksploitasi digital, maupun diskriminasi struktural. 

Komnas Perempuan mencatat peningkatan laporan dalam beberapa kategori sepanjang 2023–2024, menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar isu minor, tetapi tantangan serius bagi masyarakat muslim Indonesia. 

Kondisi ini memunculkan refleksi: bagaimana posisi fiqih yang kita ajarkan kepada generasi muda? Sudahkah ia cukup ramah gender dan relevan dengan tantangan zaman?

Sebagai seorang guru fiqih, saya merasakan urgensi persoalan ini bukan hanya secara akademik, tetapi sebagai tanggung jawab moral. Fiqih, dalam arti luasnya, bukan hanya kumpulan hukum yang dingin dan kaku. Ia adalah instrumen peradaban yang dibangun dengan prinsip perlindungan martabat manusia. 

Sayangnya, dalam praktik sosial, fiqih sering dipersepsikan memberi jalan bagi praktik diskriminasi, baik yang terjadi di sekolah, rumah tangga, maupun masyarakat. Padahal sejarah fiqih sendiri menunjukkan sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan selalu bergerak mengikuti perubahan masyarakat.

Sebagian besar problem ketidakadilan gender di Indonesia tidak lahir dari ajaran Islam, melainkan dari tafsir sosial-budaya yang kemudian dilekatkan kepada agama. Ketika masyarakat menghadapi perubahan sosial yang cepat mulai dari meningkatnya partisipasi perempuan di ruang publik hingga tantangan digital fiqih yang diajarkan tanpa konteks sering kali gagal menjawab kebutuhan zaman. 

Di sinilah pentingnya menghadirkan apa yang saya sebut sebagai fiqih ramah gender, yaitu fiqih yang tetap berpijak pada teks, tetapi membaca realitas secara jernih, serta memastikan nilai keadilan dan kemuliaan manusia menjadi orientasi utamanya.

Dalam khazanah keilmuan Islam, landasan untuk membangun fiqih semacam ini sebenarnya sangat kuat. Imam al-Syathibi dengan teori maqāṣid al-syarī‘ah menempatkan perlindungan jiwa, akal, keturunan, dan martabat manusia sebagai tujuan hukum Islam. Prinsip ini menunjukkan bahwa segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan subordinasi gender pada dasarnya bertentangan dengan maqāṣid. 

Tokoh pemikir modern seperti Fazlur Rahman juga memberi arah melalui metode double movement, yakni membaca konteks sosial ketika teks diturunkan, lalu memindahkan spiritnya untuk menjawab tantangan hari ini. Dengan cara ini, hukum Islam tidak berhenti sebagai produk masa lalu, melainkan sebagai gerak intelektual yang terus hidup.

Tokoh lain seperti Amina Wadud mengingatkan kita bahwa banyak praktik diskriminatif yang dilekatkan pada agama sesungguhnya berakar pada budaya patriarki, bukan pada ajaran Islam. Sementara dalam konteks Indonesia, pemikiran KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi penopang moral yang sangat relevan. 

Gus Dur selalu menekankan bahwa Islam tidak boleh merendahkan manusia, terlebih perempuan. Bagi beliau, teks agama harus ditempatkan dalam horizon kemanusiaan; jika tafsir suatu ayat atau hadis melahirkan ketidakadilan, maka di situlah interpretasi baru harus dilakukan.

Meski demikian, gagasan fiqih ramah gender tak selalu diterima dengan mudah. Ada pihak yang menyambutnya karena mereka meyakini keadilan sebagai inti ajaran Islam. Mereka melihat bahwa perempuan berhak mendapat ruang aman, kesempatan yang setara, dan penghargaan atas kapasitas intelektualnya. 

Mereka percaya fiqih mampu berubah, karena sejak masa klasik ia memang dibangun atas pertimbangan realitas sosial. Pendukung fiqih ramah gender meyakini bahwa keadilan bukanlah agenda Barat, tetapi prinsip moral Islam itu sendiri.

Namun di sisi lain, ada kelompok yang menolak atau curiga. Mereka khawatir gagasan ini mengubah hukum Islam secara radikal, atau menciptakan kekacauan dalam relasi keluarga. 

Sebagian menganggapnya sebagai upaya infiltrasi ideologi luar, sementara sebagian lagi merasa perubahan fiqih dapat mengaburkan batas antara perbedaan biologis dan konstruksi sosial. 

Penolakan seperti ini sering datang dari kekhawatiran dan ketidakterbiasaan membaca metodologi fiqih secara mendalam. Biasanya, mereka memegang hasil hukum tanpa memahami proses intelektual di baliknya.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana fiqih ramah gender bisa dihadirkan secara bijaksana, terutama di ruang pendidikan seperti sekolah dan pesantren?

Menurut saya, kunci penting terletak pada cara kita mengajar fiqih bukan semata pada materi yang dibahas. Selama ini, banyak lembaga pendidikan menekankan apa hukumnya, bukan bagaimana hukum itu dihasilkan. 

Padahal ketika siswa diajak memahami metode istinbat, sejarah sosial ulama, alasan perubahan hukum, dan perbedaan mazhab, mereka akan melihat fiqih sebagai disiplin yang hidup, bukan kumpulan aturan statis. Pada titik itu, mereka akan lebih mudah menerima bahwa keadilan gender bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari tradisi fiqih itu sendiri.

Selain penguatan metodologi, penting pula menjelaskan perbedaan antara teks normatif dan praktik budaya. Banyak pembatasan terhadap perempuan yang seolah religius, padahal lahir dari struktur adat. 

Membuka ruang diskusi ini di kelas fiqih akan membantu peserta didik memahami bahwa Islam datang untuk mengoreksi ketidakadilan, bukan melegitimasinya. Perspektif maqāṣid al-syarī‘ah bisa menjadi jembatan penting, karena orientasinya jelas: kemanusiaan, perlindungan, dan kesejahteraan.

Implementasi fiqih ramah gender juga harus hadir dalam praktik sekolah atau pesantren itu sendiri. Ruang kelas yang setara, kebijakan anti-kekerasan, penghargaan terhadap partisipasi perempuan, hingga kesempatan kepemimpinan yang inklusif menjadi bukti nyata bahwa fiqih tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupkan. Keteladanan ini jauh lebih kuat dari sekadar ceramah panjang tentang kesetaraan.

Menghadirkan fiqih ramah gender bukanlah upaya menyalin ide Barat, bukan pula usaha menantang tradisi Islam. Justru sebaliknya: inilah cara kita merawat warisan intelektual Islam agar tetap relevan, manusiawi, dan melindungi seluruh umat. 

Dengan membaca ulang fiqih dalam cahaya maqāṣid, dengan membuka ruang dialog, dan dengan menerapkan nilai-nilainya dalam pendidikan, kita mengembalikan fiqih pada tujuannya: menghadirkan keadilan dan rahmat bagi manusia.

Sebagai guru fiqih, saya percaya bahwa generasi masa depan membutuhkan pemahaman Islam yang bukan sekadar tekstual, tetapi juga empatik, kritis, dan menjunjung tinggi martabat perempuan. 

Jika fiqih mampu menjadi jembatan antara teks dan keadilan sosial, maka fiqih ramah gender akan menjadi bagian penting dari wajah Islam Indonesia di masa depan sebuah Islam yang teduh, adil, dan memberi ruang bagi semua.

 

***

*) Oleh : Siti Hasanah, S.H.I., Guru Fikih dan Bahasa Arab MTs Al-Huda Sukorejo Bangorejo Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.