TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Terkesan kejam saat pertama kali membaca ungkapan “orang miskin dilarang sarjana” namun apakah ungkapan itu benar ditujukan untuk ekonomi kelas bawah?
Ternyata terjadi kesalahan besar dalam menginterpretasikan makna diatas tersebut tanpa mencari akar fundamental kenapa ungkapan tersebut sampai keluar oleh kalangan teman-teman mahasiswa yang notabenenya pasti memiliki literasi lebih dibandingkan orang awam lainya.
Saat slogan tersebut keluar tidak sedikit dari kalangan masyarakat yang merasa direndahkan dan marah-marah dari ungkapan tersebut. Sehingga terjadi sindir menyindir di media sosial.
Ungkapan tersebut dicetuskan oleh para mahasiswa universitas jenderal Soedirman sebagai salah satu bentuk perjuangan para mahasiswa dalam membela suatu pendidikan agar terjangkau bagi seluruh klaster masyarakat, kuliah bukan hanya milik mereka yang berkecukupan dalam segi financial saja, tetapi kuliah juga ingin dirasakan pula oleh mereka yang berasal dari ekonomi kelas bawah. Oleh karena itu para mahasiswa menyampaikan tuntutan aspirasinya dengan slogan “ orang miskin dilarang sarjana”.
Wajar memang jika sebuah kata dipahami dari point of view audiens yang pastinya memunculkan sebuah interpretasi yang berbeda-beda, terkadang penutur ingin mengungkapkan argumen A tetapi mitra tutur malah memahami dengan pemahaman lain yang pastinya menimbulkan diskomunikasi sehingga makna asli dari penutur tidak bisa difahami secara sempurna oleh mitra tutur sehingga dapat menimbulkan pemahaman yang negatif.
Menelisik atau mengamati kejadian demo mahasiswa UNSOED, bahwa slogan yang dibuat oleh para mahasiswa merupakan kalimat yang mengandung perumpamaan/majaz/konotasi untuk menyindir pihak kampus nya karena tentang penetapan UKT yang naik berkali lipat secara drastis.
Dan termasuk dalam majaz sarkasme. Menurut Purwadarminta (dalam Tarigan, 1986, hal.92), sarkasme merupakan salah satu gaya Bahasa yang digunakan untuk menyindir seseorang dengan menggunakan Bahasa atau konotasi yang sangat kasar. Majaz sarkasme dapat digunakan dalam bentuk percakapan langsung maupun tertulis.
Inilah mengapa pentingnya kita meraih pendidikan. Orang yang memiliki pendidikan atau orang yang memiliki wawasan akan lebih terkontrol dalam menyikapi suatu masalah sehingga tidak terlalu fanatik dan berlebihan dalam menyikapi suatu masalah-masalah sederhana.
Dalam kasus slogan “orang miskin dilarang sarjana” sudah bisa mencerminkan bahwasanya Indonesia darurat dalam ber literasi tetapi cerewet dalam bermedia sosial. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, Cuma 1 orang yang rajin membaca.
Terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya memeluk dan beragama islam yang wahyu pertama yang diterima sang Baginda Rasulullah adalah surat Al Alaq dalam artian kata pertama yang diwahyukan kepada nabi adalah kata iqro’ yang berarti bacalah, mengertilah, pahamilah, cerdaslah, berpikir majulah dan bervisilah.
***
*) Oleh : Rizki Nur kholis, Mahasiswa Prodi Tadris Bahasa Indonesia, Universitas KH. Mukhtar Syafa'at Blokagung Banyuwangi
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |