TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Banyuwangi menghadapi persoalan serius terkait relatif tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Data terkini bahkan menempatkan Banyuwangi sebagai wilayah dengan AKI dan AKB tertinggi kedua di Jawa Timur.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Banyuwangi, tercatat AKB di tahun 2023 sebanyak 179 kasus, lalu menurun menjadi 174 kasus di 2024, hingga bulan Mei tahun 2025 ini, sudah ada 78 kasus kematian bayi.
Sedangkan untuk AKI, tercatat tahun 2023 sebanyak 28 kasus, lalu di 2024 masih sama 28 kasus kematian, dan sampai dengan bulan Mei 2025 kasus kematian ibu sudah ada 6 kasus.
Plt Kepala Dinkes Banyuwangi, Amir Hidayat menjelaskan, bahwa akar permasalahan tingginya angka kematian ibu dan bayi ini disebabkan oleh tiga keterlambatan utama. Ketiga hal tersebut meliputi keterlambatan dalam pengambilan keputusan tindakan medis, keterlambatan saat merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai, serta keterlambatan dalam penanganan medis itu sendiri.
"Jadi ketika ada ibu hamil resiko tinggi (Bumil Risti) terus kemudian persalinan ada kegawatdaruratan harus segera dideteksi dan dirujuk, tidak boleh kemudian hanya ditangani oleh bidan mandiri atau di puskesmas harus dirujuk ke rumah sakit dan ditangani oleh dokter spesialis," katanya Jumat, (16/05/2025).
Faktor kedua yang disoroti oleh Amir adalah sering terjadinya keterlambatan dalam proses rujukan, terutama terkait dengan waktu. Untuk mengatasi hal ini, pihaknya mengupayakan ketersediaan mobil siaga yang selalu siap mengantar pasien ke rumah sakit tanpa menunda waktu.
"Adanya mobil siaga dengan respon cepat di setiap wilayah desa akan sangat membantu,” ujarnya.
Keterlambatan ketiga yang menjadi perhatian adalah penanganan medis di fasilitas kesehatan. Amir menerangkan, bahwa beberapa kasus menunjukkan adanya keterlambatan dalam penanganan pasien. Oleh karena itu, Dinkes memastikan adanya tim dokter spesialis yang siaga di rumah sakit. Sebagai inovasi, langkah serupa juga diterapkan di tingkat puskesmas.
Sebagai respons terhadap kondisi ini, Dinkes Banyuwangi mengambil langkah konkret dengan mendorong penguatan layanan melalui program inovatif bernama Permata Hati (Persalinan Aman, Sehat, Terlindungi). Inti dari program ini adalah mewajibkan setiap proses persalinan ditangani oleh minimal tiga tenaga medis yang kompeten.
“Saat ini kita juga melaksanakan Permata Hati jadi persalinan tidak boleh ditolong oleh bidan saja tapi harus ditolong dengan 2 bidan dan 1 dokter atau 1 perawat, 1 bidan dan 1 dokter,” terang Amir.
Program Permata Hati merupakan kelanjutan dari inovasi Puskesmas Asuhan Spesialistik (PAS) yang bertujuan meningkatkan kualitas layanan persalinan di fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas.
Pemerintah Banyuwangi, ingin seluruh persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan dengan SDM siaga 24 jam. Dokter, bidan, dan perawat harus aktif memantau kondisi ibu dan janin, serta siap melakukan tindakan cepat jika ada kegawatdaruratan.
“Selain dengan program Permata Hati, kami juga menguatkan sinergi lintas sektor dalam Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang sehat, mandiri, dan produktif,” tutur Amir. (*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |