TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – Ada dua peristiwa viral minggu ini yang membetot perhatian publik terhadap perkembangan dunia pendidikan kita. Pertama adalah pembulian yang dilakukan oleh siswa-siswa SMA di Maluku tengah terhadap gurunya sendiri.
Tak tanggung-tanggung ada siswa merampas kunci motor sang guru yang juga merupakan wakil kepala sekolah, kemudian puluhan siswa lainnya mengerubungi sambil meneriaki dengan kata-kata” tidak bisa pulang” berulang-ulang.
Kedua, peristiwa nan memilukan, ada 29 siswa SMP Pangandaran yang teryata belum bisa membaca. Kedua peristiwa ini, tak pelak memancing banyak reaksi dimasyarakat. Kejadian pertama yaitu pembulian terhadap guru yang dilakukan oleh puluhan siswa di Maluku tengah tersebut, menjadi paradoks ditengah-tengah gencarnya penerapan Kurikulum Merdeka menuju penggunaanya menjadi Kurikulum Nasional di tahun 2024.
Semua praktisi pendidikan paham, ada projek penguatan profil pelajar pancasila yang menjadi keunggulan kurikulum ini. Siswa diharapkan menjadi pembelajar abad 21 dengan moral dan karakter yang dilandasi nilai-nilai pancasila.
Kurikulum Merdeka kemudian sangat berorientasi kepada siswa. Belum pernah terjadi di Indonesia selama 78 tahun merdeka, ada kurikulum yang mengharuskan guru untuk mengikuti model belajar siswa. Guru tidak lagi harus terburu-buru mengejar ketuntasan materi dalam satu waktu. Guru harus menyesuaikan kecepatan mengajar dengan kemampuan siswa.
Kurikulum ini, menekankan kebahagian seperti siswa-siswa di Finlandia. Siswa tidak boleh lagi dimarahi, di didik dengan keras meskipun dalam konteks yang tidak berlebihan, bahkan walaupun guru dibully siswa, guru yang harus minta maaf. Ini terjadi di Sumatra Barat dimana ada seorang guru yang dibentak oleh muridnya dan diumpat, dan si guru yang harus minta maaf.
Kejadiannya bermula ketika sang guru merekam siswa yang kedapatan membocorkan ban motornya. Motor sang guru memang kerap dibocorkan oleh oknum yang tidak diketahui. Ketika ketahuan, si siswa tersebut malahan yang marah dan menurut sang guru justru kemudian lingkungan tempat dimana dia berada justru meminta sang guru untuk meminta maaf dan kata-kata maaf pun sudah dituliskan dipapan tulis sehingga dia harus membacanya sebagaimana vidio yang beredar kemudian.
Peristiwa kedua terdapat 29 siswa di Pengendaraan yang belum bisa membaca. Mengapa bisa terjadi peristiwa yang mencoreng dunia pendidikan ini? Ada yang buta huruf dilingkungan sekolah. Kalau kejadiannya di pasar atau dimasyarakat terpencil masih bisa diterima akal sehat. Namun, ini terjadi dipusat pendidikan yang sehari-harinya memang mengikuti proses belajar.
Peristiwa ini, boleh dilabeli sebagai aib pendidikan nasional. Inilah buah kebijakan yang tidak berdasarkan karakteristik bangsa kita. Kebijakan tidak boleh ada murid yang tinggal kelas justru menjadi simalakama. Mana ada di negara maju, siswa yang tidak bisa membaca bisa sampai duduk di bangku SMP?
Negara-negara maju, sangat tinggi tingkat literasi nya. Bahkan siswa-siswa di Finlandia yang selalu menjadi barometer Indonesia akan kebahagiaan siswa adalah siswa-siswa yang gila baca. Tidak ada siswa Finlandia yang duduk di jenjang sekolah menengah yang buta huruf. Sehingga konsep biar bodoh asal bahagia, perlu dilihat dan dikaji ulang penerapannya.
Kalau sampai kelas 5 SD siswa tidak bisa membaca, jangan naikan dikelas 6 haram hukumnya. Mirisnya lagi, siswa yang tidak bisa membaca tersebut ada di semua jenjang dari kelas 7 sampai 9. Pertanyaan yang kemudian muncul, apa yang dilakukan sekolah dan guru sampai tidak ada upaya untuk menuntaskan masalah ini?.
Memang ada masalah apa, kalau siswa yang tidak bisa membaca kemudian ditolak masuk SMP? Apakah melanggar aturan jika kelas 7 belum bisa membaca tidak dinaikan ke kelas 8? Bahkan ada yang duduk dikelas 9 belum bisa menulis dan membaca. Lantas harus diluluskan kemudian di SMA dia harus diluluskan juga? akibat kebijakan-kebijakan yang tidak dikaji secara mendalam di negeri ini yang menjadikan siswa sebagai raja.
Ujung-ujungnya sampai perguruan tinggi siswa-siswa tersebut tidak bisa membaca, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Pertanyaan saya kemudian saya ulang kembali, negara maju mana yang jadi patokan kita yang siswa-siswanya tidak bisa membaca tapi kemudian naik kelas terus?
Doktrin pembodohan ini sangat disayangkan terjadi secara berkelanjutan di lembaga pendidikan. Ini baru di satu daerah, dan di Jawa lagi kejadiannya, bagaimana di daerah lain diluar Jawa?
Indonesia tidak boleh hanya mencontoh yang mudah-mudah saja dari negara maju.
Siswa tidak boleh dituntut ikut model pengajaran guru, murid harus diikuti kemampuannya, tidak boleh dimarahi bahkan walaupun salah. Sudah tidak ada lagi standar-standar kompetensi untuk siswa. Hoax yang mengatakan bahwa tidak ada pekerjaan rumah di Finlandia digembor-gemborkan di negara ini.
Kenyataanya, di Finlandia masih punya pekerjaan rumah meskipun dalam kadar yang tidak terlalu banyak. dan ini ditelan mentah-mentah oleh banyak insan pendidikan di negara ini bahkan ada satu daerah di Indonesia yang membuat kebijakan membebaskan siwa dari pekerjaan rumah. Entah bagaimana perkembangan siswa-siswa di daerah tersebut. Padahal pekerjaan rumah adalah remedial untuk lebih memahami materi yang sudah diajarkan.
Siswa-siswa di negara maju bahkan diwajibkan membaca buku di sekolah dan budaya yang mereka miliki juga sangat gila membaca sehingga tidak ada anak SMP yang buta huruf disana. Mereka sudah terbiasa membaca puluhan buku satu semester. Kenapa negara kita tidak mencontoh yang seperti ini? Yang disebarluaskan di negara ini hanya lah bahwa siswa harus bahagia seperti siswa-siswa di Finlandia. Sisi-sisi kerja keras siswa Finlandia tidak di angkat ke permukaan.
Dua peristiwa tersebut, seharusnya bisa menjadi semacam peringatan bahwa ada kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan yang harus segera diperbaiki. Siswa tidak boleh diperlakukan dan diberi keistimewaan secara berlebihan. Aturan tetap harus ditegakkan.
Lihatlah Singapura, negara kaya raya tersebut bahkan sangat disiplin dalam mendidik siswa-siswanya. Dan lihat hasilnya peringkat Singapura di PISA selalu yang terbaik diurutan pertama ,kedua atau ketiga begitu juga rangking kampusnya.
Sementara negara kita, bahkan saat ini seolah-olah tengah memunculkan sindrom Empu Gandring, yaitu seorang guru yang tewas ditangan muridnya sendiri yang bernama Ken Arok.
Persis yang terjadi di Indonesia Guru-guru saat ini, takut mendisiplinkan siswa sehingga guru seolah harus tunduk terhadap siswa. Dengan konsep siswa harus bahagia, tanpa melihat kondisi sekolah dan siswa. Maka yang muncul adalah model pendidikan suka-suka.
***
*) Oleh: Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan, Penulis Buku dan Artikel Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |