TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Sudah 40 tahun Indonesia menyandang julukan negara maritim dunia yaitu tepatnya pada tahun 1982. Penetapan julukan negara maritim dunia itu secara hukum tertuang pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang disebut Prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle).
Semua itu berawal dari wilayah kepulauan Indonesia terpecah-pecah oleh perairan yang statusnya perairan internasional, dan kapal asing bebas berlayar di area tersebut. Akhirnya pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Indonesia, Ir. Djuanda Kartawijaya, mendeklarasikan “Deklarasi Djuanda” demi menanggapi masalah tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah Indonesia melalui perjuangan panjang, pada tahun 1982, Deklarasi Djuanda akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982.
Sebagai negara maritim nampaknya Indonesia juga berpotensi menjadi poros maritim dunia yang nantinya akan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur. Menuju negara poros maritim dunia nampaknya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni meliputi pembangunan proses maritim dari aspek infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan dan ekonomi. Sebagai negara menuju poros maritime dunia, beberapa permasalahan strategis kemaritiman dinilai menghambat pengembangan sektor maritim di Indonesia.
Permasalahan mendasar yang datang dari berbagai aspek yang menyangkut keberlangsungan kemaritiman di Indonesia di antaranya yakni:
1. Permasalahan regulasi, hukum, dan kebijakan pemerintah
Permasalahan mendasar yang wajar terjadi pada setiap perencanaan pembangunan adalah permasalahan yang mengarah kepada hal yang bersifat instrumental dan fundamental sehingga banyak permasalahan regulasi dan hukum sampai saat ini memang masih terlihat tumpang tindih antara kebijakan satu dengan kebijakan lainnya dan permasalahan regulasi, hukum, dan kebijakan pemerintah terkait kemaritiman Indonesia hinga kini belum banyak aturan turunan di tingkat Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda dan lain sebagainya yang mengatur secara detail, teknis dan nyata tentang pembangunan dalam bidang kemaritiman (Subagyo et al., 2017). Tak dapat dipungkiri dukungan pemerintah dalam hal ini dinilai sangat penting. Dalam penelitian keberhasilan Uni Soviet dalam pengembangan oseanologi sehingga bisa tersebar luas dan beragam tidak lepas dari pemerintah yang selalu mendukung kegiatan kelautan mereka, (Janis and Daniel, 2006).
2. Masalah struktural dan kelembagaan
Belum lama ini, dalam struktur pemerintah saat ini melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman, mencoba merubah sistem kelembagaan multi agent menjadi single agent untuk penegakan hukum di laut Indonesia (Kadar, 2015). Hal tersebut bukanlah suatu langkah yang mudah, perlu adanya jangka waktu yang cukup panjang dalam mempersiapkan dan menyesuaikan kelembagaan agar semakin terbiasa dengan kebijakan baru. Terutama fungsi koordinasi harus sangat digencarkan agar dapat terhindar dari pro dan kontra akibat dari kurangnya koordinasi antar lembaga. Khususnya lembaga lain yang belum sepenuhnya terkonsentrasi pada spesialisasi kebijakan yang mengarah kepada kemaritiman.
3. Masalah mindset dan kultural Indonesia
Dapat kita lihat, pembangunan di Indonesia selama ini masih berfokus kepada daratan saja. Mindset masyarakat dan para pengambil kebijakan harus terbuka bahwa Indonesia terlahir sebagai negara kepulauan yang artinya bukan hanya soal daratan atau agraris saja, tetapi berkenaan pula dengan sejarah nenek moyang Indonesia yang disebutkan sebagai pelaut karena perjuangannya dulu mempertahankan dan melindungi perairan Indonesia yang justru terlupakan.
4. Masalah infrastruktur dan teknologi
Orientasi pembangunan di Indonesia yang cenderung terpusat menimbulkan permasalahan baru pula bagi bidang kemaritiman. Adanya ketimpangan infrastruktur antara wilayah bagian barat dan timur Indonesia menandakan pemerataan masih belum maksimal. Selain itu penguasaan teknologi dan pengembangan teknologi di bidang kemaritiman Indonesia masih terlihat lemah.
Demi terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia, usaha adalah hal yang penting dilakukan karena mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara yang mudah bagi Indonesia. Indonesia harus memulai dari hal yang paling mendasar seperti dapat memanfaatkan sumber daya kelautan yang sangat melimpah, perikanan tangkap, perikanan budidaya juga perikanan tambak serta potensi sumberdaya pertambangan dan energi lepas lantai, sebagai bekal bagi Indonesia untuk menuju negara poros maritim dunia (Pardosi, 2016).
Tanggal 13 Desember telah dicanangkan sebagai peringatan Hari Nusantara. Peringatan ini sebagai bentuk dedikasi mengenang Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang berisi tentang pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah teritorial yang menyatu dengan wilayah daratan, sehingga semua perairan yang menghubungkan daratan adalah bagian dari NKRI.
Semangat tentang rasa kesatuan tersebut yang ingin dibangun pada peringatan Hari Nusantara ini. Selain itu, membangun kerja sama juga sangat penting dilakukan agar dapat menuju Indonesia sebagai negara poros maritim dunia dapat terlaksana dengan baik. Siapakah yang berhak menjalin kerja sama terkait maritim Indonesia? Jawabannya adalah siapapun yang mengakui Indonesia sebagai tanah air. Hal itu menunjukkan jika peran masyarakat dan pemerintah berada di jajaran tertinggi dalam membangun kerja sama, terutama demi Nusantara yang mendunia.
***
*) Oleh: Amira Zakia, Mahasiswi Institut Agama Islam Darussalam Blokagung Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |