TIMES BANYUWANGI, JAKARTA – Nyaris seluruh jalur komunikasi publik saat ini dipenuhi dengan manuver-manuver manajemen krisis. Sebenarnya manajemen krisis adalah pendekatan strategis yang diambil organisasi.
Saat ini manajemen krisis lebih bersifat serang menyerang dan membela diri sebagian pengelola organisasi besar berbentuk pemerintahan untuk mengatasi dan meminimalkan dampak dari krisis yang tak terduga.
Tapi krisis ini bukan tidak mungkin tak terduga karena langkah-langkah politis dan hukum sudah diputuskan dan sebagian pengelola sudah mengantisipasi bahwa situasi hukum ini bakal jadi persoalan!
Koalisi LSM untuk Keadilan Pemilu merinci, ada tujuh tindakan pelanggaran, yakni dukungan ASN terhadap kandidat (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), dukungan terhadap kandidat tertentu (14 kasus), politisasi bansos (8 kasus). Kemudian, dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu (9 kasus), penggunaan fasilitas negara (5 kasus), dan dukungan penyelenggara negara terhadap kontestan tertentu (2 kasus).
Dari catatan koalisi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan 11 kali pelanggaran atau penyimpangan Pemilu 2024. Jokowi berada di urutan keempat. Pelaku penyimpangan netralitas pertama dilakukan oleh ASN pemerintah kabupaten (13), menteri (13), lurah atau kepala desa (12), presiden (11 kasus), polisi (9 kasus), ASN pemerintah provinsi (8 kasus), prajurit TNI (7 kasus), bupati (4 kasus), wali kota (4 kasus), dan camat (4 kasus).
Krisis saat ini muncul akibat dari serangkaian proses dan tindakan yang menurut catatan adalah pelanggaran! Karena itu, manajemen krisis ini secara teori harus dirancang untuk menangnai krisis dengan cepat, meminimalkan kerusakan, dan mengembalikan ke keadaan negara kemabli normal.
Salah satu aspek utama manajemen krisis adalah persiapan. Pengelola pemerintahan harus secara proaktif mengidentifikasi risiko potensial dan mengembangkan rencana manajemen krisis yang komprehensif.
Rencana-rencana ini harus menjelaskan peran dan tanggung jawab para pemangku kepentingan utama menjalin saluran komunikasi, menentukan langkah yang perlu misalnya langkah hukum, serta langkah-langkah lain. Dengan persiapan ini supaya pemerintah bisa merespon tantangan dengan cepat dan efektif.
Komunikasi efektif sangat penting selama krisis. Komunikasi yang jelas dan tepat waktu, bukan membantah dan menangkis, membantu pengelola krisis seperti diharapkan pemangku mandat, pendukung politik, pemegang saham politik, dan masyarakat umum.
Langkah mereka juga membutuhkan juru bicara yang fokus, handal dan konsisten. Penting bagi pengelola manajemen krisis ini untuk transparan, jujur, dan empatik dalam komunikasi untuk mempertahankan kepercayaan dan kredibilitas.
Elemen penting lainnya dalam manajemen krisis adalah kemampuan untuk membuat keputusan cepat dan berdasarkan informasi yang akurat. Selama krisis, waktu sangat berharga, dan para pemimpin harus dapat mengumpulkan informasi yang relevan, mengevaluasi situasi, dan membuat keputusan yang tegas. Ini membutuhkan pendekatan yang tenang dan rasional, serta kemampuan untuk mempertimbangkan implikasi jangka pendek dan jangka panjang.
Selain respons segera dan tepat waktu, manajemen krisis juga melibatkan proses pemulihan dan pembelajaran. Setelah krisis teratasi, penting untuk melakukan analisis mendalam untuk memahami apa yang salah dan mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki.
Ini bisa melibatkan dengan meninjau kembali rencana manajemen krisis, menerapkan tindakan korektif, dan meningkatkan ketangguhan organisasi dalam hal ini pemerintah. Dengan belajar dari krisis, pemerintahan dapat lebih siap menghadapi tantangan di masa depan dan meminimalkan dampak dari insiden serupa.
Selanjutnya, manajemen krisis tidak perlu membatasi diri pada tindakan reaktif diri sendiri. Pemerintah juga harus fokus pada tindakan proaktif untuk mencegah krisis, memperkecil risiko dan dampak politik. Ini dapat meliputi penerapan praktik manajemen risiko yang kuat, melakukan audit dan penilaian secara rutin, dan tetap berada pada tren industri terutama keterbukaan informasi, kejujuran dan digitalisasi data dan fakta.
Dengan bersikap proaktif, pemerintahan dapat mengurangi kemungkinan terjadi dampak paling buruk krisis dan lebih siap menghadapi kejadian tak terduga. Dan kunci utama dalam manajamen krisis adalah kejujuran dan transparansi. Berbagai manuver untuk bela diri, membenarkan dan menutup diri dari kritik dan masukan pihak justru memperbesar lubang kubur. Di jaman komunikasi terbuka ini, sangat tidak mungkin membantah dan bersilat lidah untuk langkah-langkah yang secara catatan publik memang terjadi kekeliruan.
Manajemen krisis adalah aspek kritis dari ketangguhan dan keberlanjutan pemerintahan. Dengan bersiap terbuka, jujur, berkomunikasi secara efektif, membuat keputusan informatif, pemerintahan dapat menghadapi tantangan dengan sukses dan muncul lebih kuat.
Dalam lingkungan komunikasi jaman ini manajemen krisis bukan hanya strategi reaktif tetapi juga bagian integral dari perencanaan strategis dan manajemen risiko pemerintahan. Dengan mengadopsi manajemen krisis sebagai pendekatan proaktif dan holistik, organisasi dapat membangun ketangguhan dan melindungi pemangku kepentingan mereka dalam situasi yang penuh ketidakpastian. (*)
***
*) Oleh: A. Halim Mahfudz, Ketua Badan Wakaf Pesantren Tebuireng.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |