TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Setiap orang pasti menginginkan kedamaian dan ketenangan dalam hidup. Namun pada kenyataannya itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan bagi sebagian orang. Kehidupan yang tenang adalah ketika kita bisa mendapatkan kedamaian dalam hati. Ketenangan dan kedamaian merupakan kunci dari kebahagiaan.
Banyak orang yang merasa bahagia dalam menjalani hidupnya tapi belum tentu bisa merasakan kedamaian dan ketenangan hidup. Hal ini bisa saja terjadi karena kedamaian dan ketenangan hidup bersumber dari dalam hati, sedangkan kebahagiaan bisa kita dapatkan dari hal-hal yag ada disekitar kita, seperti dari lingkungan keluarga, sekolah, dan tempat-tempat yang bisa menjadi sumber kebahagian lainnya.
Salah satu hal yang menyebabkan seseorang sulit mendapatkan ketenangan adalah pikiran buruk mereka sendiri. Pikiran buruk atau negatif dapat membawa dampak negatif pula bagi kita, salah satunya bagi kesehatan mental. Kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial kita. Hal ini sangat mempengaruhi cara kita berpikir, merasakan dan bertindak.
Jika kesehatan mental seseorang terganggu maka hal tersebut dapat memicu permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, seperti menurunnya produktivitas kerja atau prestasi di sekolah hingga merusak hubungan sosial dengan orang lain.
Ada banyak faktor yang bisa memicu terjadinya gangguan kesehatan mental, mulai dari menderita penyakit tertentu sampai mengalami stres akibat peristiwa traumatis. Belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental, namun kondisi ini diketahui terkait dengan faktor biologis dan faktor psikologis.
Faktor biologis atau disebut juga gangguan mental organik seperti gangguan pada fungsi sel saraf di otak, infeksi akibat bakteri streptococcus, kelainan bawaan atau cedera otak, kekurangan oksigen pada otak bayi saat proses persalinan, riwayat gangguan mental pada orang tua atau keluarga, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan kekurangan nutrisi.
Sementara faktor psikologis meliputi peristiwa traumatik seperti pelecehan dan kekerasan seksual, kehilangan orang tua atau kurangnya perhatian dari orang tua sewaktu kecil, kurang mampu bergaul dengan orang lain, perceraian atau ditinggal mati oleh pasangan, merasa rendah diri dan kesepian.
Indonesia National Adolescent Mental
Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10-17 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.
Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegak diagnosis gangguan mental di Indonesia.
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki” terang Prof. Dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) sebesar 3,7 %, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Salah satu hal yang sering menjadi penyebab terjadinya gangguan kesehatan mental adalah trauma. Trauma adalah kondisi yang timbul sebagai akibat dari pengalaman buruk yang dialami oleh seseorang, seperti kecelakaan, korban kekerasan fisik, atau bencana alam. Kondisi ini dapat memengaruhi mental dan emosi seseorang terutama saat mengingat peristiwa buruk tersebut.
Trauma adalah kondisi yang umum terjadi dan bisa dialami oleh siapa saja. Kendati demikian kondisi ini tetap memerlukan penanganan yang tepat agar tidak menimbulkan efek berkepanjangan yang dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya.
Berdasarkan penyebabnya, trauma dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu trauma akut yang terjadi karena peristiwa membahayakan yang terjadi seperti kecelakaan atau bencana alam, trauma kronis yang terjadi karena kejadian buruk yang terjadi secara terus-menerus seperti bullying atau kekerasan dalam rumah tangga, dan trauma kompleks yang terjadi karena beberapa kejadian traumatis. Umumnya jenis trauma yang sering dialami oleh remaja adalah trauma kronis.
Gejala trauma pada setiap individu cenderung beragam tergantung dari kondisi dan tingkat keparahannya. Adapun sejumlah reaksi fisik yang dapat muncul sebagai akibat dari trauma adalah sakit kepala, kelelahan, gangguan pencernaan, jantung berdebar dan tubuh yang mengeluarkan keringat berlebih. Sementara itu sejumlah reaksi psikis dan emosional yang kerap timbul akibat trauma adalah takut, panik dan cemas berlebih, cenderung tertutup dan enggan bersosialisasi, kesulitan untuk memusatkan fokus dan konsentrasi, insomnia, depresi dan perubahan pola makan.
Penanganan trauma dilakukan berdasarkan penyebab yang mendasarinya, namun sejumlah tindakan medis yang umum dilakukan untuk menangani trauma adalah psikoterapi, konsumsi obat-obatan yang dapat membantu mengatasi trauma, dan perawatan mandiri seperti mengonsumsi makanan sehat dan bergizi seimbang, mencukupi waktu tidur, berolahraga secara rutin, bercerita dengan keluarga atau orang terdekat dan yang terpenting adalah memperbaiki kualitas ibadah kita.
Cara terbaik untuk sembuh dari trauma adalah dengan melepaskan semua rasa takut dan kebencian akan hal-hal yang terjadi dimasa lalu, serta belajar memaafkan dan menerima diri sendiri. Jika kita sudah bisa berdamai dengan diri sendiri, maka seiring dengan berjalannya waktu rasa trauma yang terjadi perlahan akan menghilang dari pikiran kita.
Ketenangan hidup tidak akan pernah terwujud tanpa adanya perubahan pola pikir tentang kebencian akan hal-hal yang tidak sejalan atau tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kita harus bisa memandang suatu peristiwa dari sudut pandang yang positif dan belajar menerima hal-hal yang terjadi dalam hidup kita. Dengan demikian kita akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian hidup jika kita mampu ikhlas dan bersyukur dengan kehidupan yang kita jalani.
***
*) Oleh : Arum Mutiara Sari, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas KH. Mukhtar Syafaat.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |