TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Di Kabupaten Banyuwangi, air tidak sekadar mengalir di sungai atau mata air. Ia hidup dalam ingatan, doa, dan kebudayaan masyarakat adat Osing. Dari kesadaran itulah lahir Festival Ngerumat Sumber, sebuah perayaan yang memadukan alam, budaya, dan kesadaran ekologis.
Festival ini digelar oleh Pesinauan, Sekolah Adat Osing, di bawah supervisi Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Osing), berlangsung selama 4–5 Oktober 2025 di Sawah Art Space, Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Masyarakat adat, seniman, akademisi, dan pegiat lingkungan hadir bersama untuk belajar memperlakukan air dengan hormat dan kasih.
Dalam bahasa Osing, ngerumat berarti merawat dengan kasih, sementara sumber bermakna mata air. Dengan demikian, Ngerumat Sumber bukan sekadar kegiatan pelestarian lingkungan, tetapi juga upaya memulihkan hubungan spiritual antara manusia dan alam.
Kegiatan ini melibatkan lima komunitas masyarakat adat Osing anggota AMAN, yakni Olehsari, Kemiren, Dukuh Kopen Kidul, Rejopuro, dan Banjar. Mereka menanam pohon endemik, membersihkan sumber air, serta menghidupkan kembali pengetahuan lokal tentang air sebagai sumber kehidupan.
Prosesi penyatuan air dari lima sumber ke dalam bokor kuningan berisi bunga tiga rupa menjadi pembuka festival. Air yang disebut Toya Arum itu menjadi simbol penyucian lahir dan batin. Dari ritual sederhana itulah suasana berubah menjadi ruang refleksi yang tenang dan khusyuk.
Tasyakuran atau slametan pada prosesi Festival Ngerumat Sumber. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Ketua Panitia Festival Ngerumat Sumber, Venedio Nala Ardisa, mengatakan bahwa krisis air tidak dapat diatasi hanya dengan teknologi.
“Air bukan soal infrastruktur, tapi soal nilai. Kalau manusia tidak mengubah cara pandangnya terhadap alam, semua teknologi hanya akan menunda bencana,” ujar Dio, Senin (6/10/2025).
Menurut Dio, Ngerumat Sumber merupakan ruang pendidikan ekologis, tempat tetua, perempuan, dan anak muda belajar memahami air sebagai bagian dari diri mereka sendiri.
Rangkaian kegiatan festival juga diwarnai pameran bertajuk “Jejak Sumber, Jejak Budaya.” Pameran ini menampilkan foto lanskap mata air, alat ritual, batik, permainan anak tradisional, alat pertanian, hingga peralatan dapur masyarakat Osing berbahan bambu.
Yang menarik perhatian pengunjung adalah foto manuskrip kuno Lontar Sri Tanjung, naskah yang telah diakui sebagai bagian dari Ingatan Kolektif Nasional (IKON). Dalam naskah itu tersimpan legenda Sri Tanjung, kisah perempuan yang difitnah dan dibunuh oleh suaminya, Sidapaksa.
Konon, ketika darah Sri Tanjung jatuh ke air, menguar bau harum ke udara. Dari situlah nama Banyuwangi, yang berarti “air yang wangi”, berasal. Kisah itu bukan sekadar legenda, melainkan pelajaran moral tentang kesucian, keadilan, dan pemulihan.
“Air dalam kisah Sri Tanjung bukan hanya unsur alam, tetapi saksi kebenaran. Ketika air kehilangan harum, artinya manusia kehilangan kejujuran,” ujar Wiwin Indiarti, editor buku Ngerumat Sumber sekaligus Ketua PD AMAN Osing.
Selain pameran, festival juga menghadirkan bedah buku “Ngerumat Sumber: Jejak Air dalam Kebudayaan Osing.” Buku ini menelusuri makna air dari sisi mitologi hingga ekologi, dari lanskap sumber hingga tumbuhan penyangga kehidupan.
Rangkaian acara ditutup dengan pemutaran film dokumenter berjudul “Ngerumat Sumber: Air, Adat, dan Warisan Osing.” Film ini merekam refleksi masyarakat Osing tentang makna air dan hubungan spiritual manusia dengan sumbernya.
Penutup festival menjadi ruang ekspresi yang penuh warna. Musik bambu berpadu dengan tari dan teater, menghadirkan harmoni antara manusia dan alam.
Para petani, seniman, dan pelajar duduk bersama di bawah cahaya lampu temaram, menikmati malam dalam rasa syukur yang sama—keinginan untuk kembali mencintai air, sumber segala kehidupan.(*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Imadudin Muhammad |