TIMES BANYUWANGI, BANDUNG – Pusaran angin kencang yang melanda Rancaekek, Kabupaten Bandung, pada Rabu, 21 Februari 2024, telah menjadi topik hangat di kalangan masyarakat dan pengguna media sosial. Fenomena cuaca ekstrem ini memicu perdebatan tentang apakah yang terjadi adalah tornado atau puting beliung. 

Dua perspektif berbeda dari ahli iklim dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggambarkan pandangan yang berbeda terhadap peristiwa ini.

Perspektif Tornado Rancaekek Bandung

Ahli iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, memimpin pembicaraan tentang tornado Rancaekek Bandung. Melalui media sosialnya, Erma mengidentifikasi pusaran angin kencang yang melanda Rancaekek sebagai tornado pertama di wilayah Indonesia. 

Menurutnya, fenomena ini memiliki kesamaan yang mencolok dengan tornado, terutama dalam hal kekuatan angin dan dampaknya yang luas. Dia bahkan mengklaim bahwa BRIN telah memprediksi peristiwa ekstrem ini melalui sistem informasi prediksi iklim mereka.

Menurut Erma, struktur dan karakteristik pusaran angin di Rancaekek sangat mirip dengan tornado-tornado yang umum terjadi di belahan bumi utara, khususnya di Amerika Serikat. Dia menekankan bahwa tornado memiliki kecepatan angin minimal 70 km/jam, sementara BRIN mencatat kecepatan angin terkuat puting beliung di Indonesia hanya sekitar 56 km/jam.

"Struktur tornado Rancaekek, Indonesia, dibandingkan dengan tornado yang biasa terjadi di belahan bumi utara, Amerika Serikat. Memiliki kemiripan 99,99% alias mirip bingits!," tulis Erma, di akun X.

Erma juga menyoroti pentingnya dokumentasi visual dari masyarakat dan media dalam membantu peneliti dalam memahami dan merekonstruksi peristiwa tornado ini. Dia berkomitmen untuk melakukan investigasi lebih lanjut atas peristiwa ini.

Perspektif Puting Beliung Rancaekek Bandung

Di sisi lain, BMKG mengklasifikasikan peristiwa tersebut sebagai puting beliung. Menurut Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, istilah "tornado" biasanya digunakan untuk fenomena cuaca ekstrem di Amerika Serikat, terutama jika kecepatan angin mencapai ratusan km/jam dengan dampak yang sangat luas. Sementara itu, di Indonesia, fenomena serupa lebih sering disebut sebagai puting beliung dengan kekuatan angin yang relatif lebih rendah.

Guswanto menjelaskan bahwa puting beliung terbentuk dari sistem awan cumulonimbus yang memiliki karakteristik dalam menciptakan cuaca ekstrem. Namun, tidak setiap awan cumulonimbus akan menghasilkan fenomena puting beliung. 

"Dapat terjadi fenomena puting beliung dan itu tergantung bagaimana kondisi labilitas atmosfernya," jelas kata Guswanto, dalam keterangan pers, Kamis (22/2/2024).

Dia juga mencatat bahwa fenomena puting beliung telah terjadi beberapa kali sebelumnya di wilayah Bandung, termasuk di Rancaekek, serta menimbulkan kerusakan seperti bangunan rusak dan pohon tumbang.

Kesimpulan Tornado dan Puting Beliung 

Perdebatan antara perspektif tornado dan puting beliung membawa implikasi yang penting dalam memahami dan menghadapi cuaca ekstrem di Indonesia. Meskipun ada kemiripan visual antara keduanya, perbedaan dalam kekuatan angin dan dampaknya menjadi faktor penentu dalam klasifikasi fenomena tersebut.

Penting bagi masyarakat untuk menggunakan istilah yang tepat dan akurat dalam menggambarkan fenomena cuaca ekstrem, tidak hanya untuk menghindari kebingungan tetapi juga untuk memahami risiko yang terkait dengan setiap jenis fenomena.

Lebih lanjut, pemahaman yang akurat tentang fenomena cuaca ekstrem seperti tornado dan puting beliung akan memungkinkan pihak berwenang, peneliti, dan masyarakat untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat dan efektif dalam menghadapi ancaman cuaca ekstrem di masa mendatang. (*)