TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Bedah buku "Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi," di ajang Banyuwangi Book Fair 2022, membuka tabir sejarah baru salah satu pemimpin di Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam buku yang ditulis oleh M Hidayat Aji Ramawidi, M Pd, tersebut diungkap bahwa Mas Alit bukanlah bupati pertama Kabupaten Banyuwangi.
Tentunya fakta baru ini bakal merombak sejarah Bumi Blambangan. Utamanya ihwal sejarah bupati pertama Kabupaten Banyuwangi. Apalagi, sudah sekian lama publik Banyuwangi, telah dijejali pemahaman bahwa Mas Alit adalah bupati pertama Kabupaten Banyuwangi.
Dan nyatanya, tulisan Founder Komunitas Balambangan Royal Volunteers (BRAVO) dan Pusat Informasi Sejarah Balambangan, ajisangkala.id, ini membeberkan bahwa Mas Alit adalah bupati kelima Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur.
Alias saat Mas Alit dilantik menjadi Tumenggung Wiroguno I ditahun 1774, Kabupaten Banyuwangi belum terbentuk dan masih bernama Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur. Dari catatan sejarah, nama Kabupaten Banyuwangi, baru muncul ditahun 1812.
“Namun, Mas Alit memang benar sebagai bupati pertama yang berkantor di Kota Banyuwangi atau Kutha Banyuwangi,” ucap M Hidayat Aji Ramawidi, M Pd, Jumat (14/10/2022).
Bedah buku ‘Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi’, ini digelar diajang Banyuwangi Book Fair 2022, pada Rabu, 12 Oktober 2022 di Gedung Juang 45 Banyuwangi, di Jalan Susuit Tubun-Pasar Banyuwangi, Kelurahan Kepatihan.
Kepada TIMES Indonesia, Mas Aji, sapaan akrab M Hidayat Aji Ramawidi, M Pd, membeberkan kerajaan Blambangan runtuh ditahun 1767. Atau terdapat lompatan sejarah selama 45 tahun dari kemunculan nama Kabupaten Banyuwangi, yakni tahun 1812.
Dari keruntuhan kerajaan Blambangan, tahun 1767, juga masih terdapat rentang waktu 5 tahun menuju angka tahun 1771. Yang merupakan angka tahun yang kini disepakati sebagai patokan Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba).
“Dari keruntuhan kerajaan Blambangan, juga masih terdapat jeda 7 tahun dari pelantikan Mas Alit sebagai Tumenggung Wiraguna I (1774),” ungkapnya.
Dalam bukunya, pemuda pemerhati sejarah Blambangan asal Desa Kradenan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, ini mengungkap pemerintahan yang terjadi dalam 45 tahun kekosongan sejarah Bumi Blambangan. Yaitu masa setelah keruntuhan kerajaan Blambangan ditahun 1767 hingga nama Kabupaten Banyuwangi muncul ditahun 1812.
Sesuai data sejarah, pasca keruntuhan kerajaan Blambangan, diwilayah Kabupaten Banyuwangi saat ini, belanda membentuk Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur.
Bupati pertama yang diangkat oleh penjajah adalah Bagus Anom Kalungkung (Mas Aneng). Memimpin ditahun 1767-1768, dengan ibu kota pemerintahan di Kutha Ulu Pangpang. Bupati kedua dijabat Mas Bagus Sutanagara, antara tahun 1767-1771, dengan ibu kota pemerintahan di Kutha Ulu Pangpang.
Bupati Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur yang ketiga ditempati Tumenggung Raden Mas Kartanagara (Kartawijaya), tahun 1771-1771. Dia juga memerintah dari ibu kota Kutha Ulu Pangpang. Bupati keempat dijabat Tumenggung Jaksanagara (Bapa Anti), 1771-1773. Diera kepemimpinannya terjadi perpindahan ibu kota pemerintahan. Yang sebelumnya di Kutha Ulu Pangpang pindah ke Kutha Benculuk.
Kepemimpinan Tumengung Jaksanagara sebagai Bupati Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur ini digantikan oleh Tumenggung Wiraguna I (Mas Alit). Di Buku ‘Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi’ ini dicetus bahwa Mas Alit adalah Bupati Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur yang kelima. Atau bukan bupati pertama Kabupaten Banyuwangi.
Namun diera kepemimpinan Mas Alit, 1774-1782, memang terjadi perpindahan ibu kota kabupaten. Yang sebelumnya berada di Kutha Benculuk, dipindahkan ke Kutha Banyuwangi. Dengan kata lain, Mas Alit adalah bupati pertama yang memerintah dengan ibu kota berada di Kutha Banyuwangi.
Ditahun 1782, Bupati Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur, diisi Tumenggung Wiraguna II (Mas Sanget atau Mas Talib). Barulah dimasa kepemimpinan ini nama Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur dirubah oleh penjajah pemerintah Inggris. Kala itu penjajahan bangsa kolonial Belanda di Banyuwangi digeser oleh Pemerintah Inggris.
Perubahan nama Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur menjadi Kabupaten Banyuwangi, terjadi ditahun 1812.
Sementara Tumenggung Wiraguna II memerintah hingga tahun 1818. Yang artinya, dia sekaligus menjadi Bupati Kabupaten Banyuwangi pertama. Karena Tumenggung Wiraguna II (Mas Sanget atau Mas Talib), adalah Bupati Kabupaten Kasepuhan atau Kabupaten Blambangan Timur hingga berubah nama menjadi Kabupaten Banyuwangi.
Pemuda kelahiran 17 Oktober 1989 ini membeberkan, buku ‘Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi’ dia tulis dengan memakan waktu setahun lebih. Mulai Maret 2021-September 2022.
M Hidayat Aji Ramawidi, M Pd, penulis buku ‘Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi’. (Foto : Syamsul Arifin/TIMES Indonesia)
Memastikan keakuratan tulisan, Mas Aji mengadopsi data dari berbagai sumber terpercaya. Diantaranya, Babat Tawang Alun, Babat Notodiningratan, Babat Wilis, Babat Sembar, Babat Bayu dan Babat Kasepuhan. Termasuk sejumlah sumber dari pulau Dewata, Bali, seperti Babat Buleleng, Babat Mengwi dan Babat Dalem. Juga termasuk dari catatan Belanda dan cerita tutur.
“Dengan buku ini kami berusaha mengajak pembaca untuk menelusuri ulang peristiwa runtuhnya kerajaan Balambangan dan bagaimana asal-mula terbentuk dan berdirinya Kabupaten Banyuwangi,” cetus Mas Aji.
Selain mengungkap sosok Bupati Kabupaten Banyuwangi pertama, buku ‘Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi’, dibeberkan sejumlah fakta-fakta yang banyak diabaikan banyak pihak. Diantaranya :
1. Kerajaan Blambangan tidak pernah berada di bawah penjajahan kerajaan Mengwi. Kedudukan I Gusti Ngurah Ketut Dewa Kabakaba di Blambangan hanya sebagai Wali Nagara mewakili Pangeran Agung Wilis yang sedang berada di Bali. Hubungan kerajaan Blambangan dan kerajaan Mengwi adalah hubungan kekeluargaan.
2. Pangeran Agung Wilis pernah menjadi raja Blambangan, bukan hanya seorang Patih yang kemudian dipecat, seperti cerita yang berkembang dimasyarakat Banyuwangi saat ini.
3. Perang Kabakaba di Ketapang adalah perang pertama di Blambangan Timur dalam melawan penjajahan VOC-Belanda. Dan perang di Ulu Pangpang menjadi satu-satunya Puputan yang pernah terjadi di Blambangan.
4. Setelah Kerajaan Balambangan runtuh dan Kabupaten Banyuwangi belum terbentuk, ternyata pernah terbentuk Kabupaten Kasepuhan atau Blambangan Timur yang bahkan pernah eksis selama 45 tahun dengan enam orang Bupati.
5. Tidak ada Islamisasi oleh VOC-Belanda di Blambangan. “Pemaksaan” terhadap Bagus Sutanagara untuk masuk Islam, ternyata hanya berlaku untuk dirinya saja dan tidak terhadap seluruh rakyat Blambangan.
6. Desa Benculuk di Kecamatan Cluring pernah menjadi Ibukota Kabupaten sebelum pindah ke Kota Banyuwangi.
7. Kota Banyuwangi awalnya dibangun sebagai Ibukota dari Kabupaten Blambangan Timur. Sebelumnya, Kabupaten Blambangan Timur pernah beribukota di Ulu Pangpang (Muncar), kemudian Benculuk (Cluring), dan terakhir di Kota Banyuwangi.
8. Perang Bayu ternyata terjadi dalam tiga babak dari tahun 1771-1773.
9. Perang Bayu itu bukan Perang atas nama agama dan bukan pula sebuah Puputan (perang habis-habisan). Karena sesudah Perang Bayu masih terjadi perlawanan rakyat Blambangan kepada penjajah. Seperti perlawanan Mas Serandil (1780), perlawanan Pangeran Singo (1781-1782), ;perlawanan Mas Sekar (1797) dan perlawanan Brengos Prada (1800).
10. Pada masa pemerintahan Tumenggung Wiraguna I atau Mas Alit, Pangeran Agung Wilis pernah berusaha kembali ke Blambangan namun mangkat ketika baru mencapai Bali. Jenazahnya berhasil dibawa ke Blambangan sehingga kita dapat meneruskan visinya untuk: Atunggu Jarating Kaki.
Meski masih berusia sangat muda, penulis buku ‘Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi’, M Hidayat Aji Ramawidi, M Pd, adalah pemerhati sejarah Blambangan yang sangat diperhitungkan. Bicara tentang sejarah, dia bahkan sering menjadi tean diskusi Dr. Sri Margana, M.Hum, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada (Yogyakarta). Termasuk teman diskusi almarhum Drs. K.H. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd, seorang penulis, sejarawan, dan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Yang pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku Atlas Wali Songo
Untuk Mas Aji sendiri, merupakan Founder Komunitas Balambangan Royal Volunteers (BRAVO) dan Pusat Informasi Sejarah Balambangan ajisangkala.id. Dia telah menerbitkan sejumlah buku tentang sejarah kerajaan Blambangan. Di antaranya, Suluh Blambangan (2017), Suluh Blambangan 2 (2017), Babad Raja Balambangan, Jilid I-XV (2018-2020), A Short History of Blambangan (2021), Novel Wilis (2021), 1478 Runtuhnya Majapahit dan berdirinya Balambangan (2021), dan Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi (2022).
Di samping aktif menulis dan berbagi ilmu dalam bidang kepenulisan, M Hidayat Aji Ramawidi juga aktif sebagai narasumber (Historivator) dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Sejarah. Karena dedikasinya Mas Aji dianugerahi penghargaan Special Achievement Award ATI 2021 dari media online timesindonesia.co.id, TIMES Indonesia Network (TIN) kategori Tokoh Muda Pemerhati Sejarah Lokal. (*)
Pewarta | : Syamsul Arifin |
Editor | : Muhammad Iqbal |