https://banyuwangi.times.co.id/
Berita

Menilik Tradisi Tolak Bala Mepe Kasur Suku Osing Banyuwangi 

Kamis, 22 Juni 2023 - 19:10
Menilik Tradisi Tolak Bala Mepe Kasur Suku Osing Banyuwangi  Warga Lingkungan Sukosari, Kemiren, Glagah, Banyuwangi, Mbah Ning pada saat menghilangkan debu-debu yang ada di kasur. (FOTO: Fazar Dimas/TIMES Indonesia)

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Banyuwangi, Jawa Timur, memang menyimpan segudang kekayaan tradisi dan budaya yang unik. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah melangsungkan tradisi Mepe Kasur (Jemur Kasur) setiap tahunnya untuk menyambut Hari Raya Idul Adha.

Mepe Kasur merupakan tradiri yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi acara tahunan yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Kemiren. Kasur bagi mereka bukan hanya sekedar tempat tidur, tapi juga memiliki makna mendalam sebagai simbol kebersihan, kesehatan, dan kenyamanan. Selain itu, tradisi ini menjadi sarana untuk menjaga dan menghormati peran penting kasur dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Mulai pagi hingga siang hari, ratusan warga nampak sibuk membersihkan kasur yang dijemur di depan halaman rumah di sepanjang jalan desa sejauh 3 kilometer. Mereka yang mayoritas kaum hawa terus memukul-mukul kasur kapuk dengan anyaman yang terbuat dari anyaman rotan untuk menghilangkan debu di alas tidur tersebut.

Namun saat diamati, tradisi meyambut bulan haji ini terdapat hal unik dari barisan kasur milik warga Suku Osing Desa Kemiren. Yakni warna kasur-kasur tersebut memiliki warna kombinasi merah dan hitam.

Usut punya usut, warna kasur berseragam kombinasi merah dan hitam merupakan wujud pelestarian peninggalan nenek moyang serta terdapat sebuah makna di dalam warna tersebut.

“Warna merah memiliki arti berani, sedangkan hitam langgeng atau abadi,” kata warga Lingkungan Sukosari, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Mbah Ning, Kamis, (22/6/2023).

Dikisahkan, Bulan Haji identik dengan pernikahan. Dengan dasar tersebut tradisi jemur kasur adalah sebuah permohonan dan harapan kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya pasangan yang baru menikah bisa langgeng hingga hanya usia memisahkan keduanya.

“Biar tidak ada gangguan apa pun dan hubungannya bisa langgeng jodoh,” jelasnya.

Sementara Ketua Adat Kemiren, Suhaimi mengaku warga Osing beranggapan kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat dengan manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang.

"Pada saat matahari terbit, kasur segera dijemur di depan rumah masing-masing sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman. Tujuannya agar dijauhkan dari bencana dan penyakit,” ungkapnya.

Setelah matahari tepat di atas kepala atau sekitar pukul 12.00, semua kasur kembali digulung dan dimasukkan. Konon katanya, jika tidak segera dimasukkan hingga matahari terbenam, kebersihan kasur ini akan hilang dan khasiat untuk menghilangkan penyakit pun tidak akan ada hasilnya.

"Kalau sampai sore ya nanti khasiatnya akan menurun. Apalagi kalau kemalaman bisa gak sehat," imbuhnya.

Setelah memasukkan kasur ke dalam rumah masing-masing, warga melanjutkan tradisi bersih desa ini dengan arak-arakan barong. Barong diarak dari ujung desa menuju ke batas akhir desa. Setelah arak-arakan Barong, masyarakat Osing melanjutkan berziarah ke Makam Buyut Cili yang diyakini masyarakat sebagai penjaga desa.

Puncaknya, saat warga bersama-sama menggelar selamatan Tumpeng Sewu pada malam hari. Semua warga mengeluarkan tumpeng khas warga Osing, yaitu pecel pithik alias ayam panggang dengan parutan kelapa. Suasana tempo dulu sangat terasa pada saat mereka mulai menyalakan obor yang ada di halaman rumahnya. (*)

Pewarta : Fazar Dimas Priyatna
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banyuwangi just now

Welcome to TIMES Banyuwangi

TIMES Banyuwangi is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.